"Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku
buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah
kesejahteraanmu (Yeremia 29:7)
Bolehkah gereja mencampuri urusan
politik? Pemimpin Jerman, Adolf Hitler (1889-1945) pernah berkata kepada
Pendeta Niemoller: “Saya mengurusi politik, Anda mengurusi agama. Saya tidak
akan mencampuri urusan Anda, dan saya minta Anda tidak akan mencampuri urusan
saya!” Meskipun Pendeta Niemoller tidak bersependapat, pada waktu itu, banyak
orang Kristen (gereja) bersetuju dengan Hitler: gereja dilarang mencampuri
urusan politik! Akibat kebijakan politik
Hitler, sekitar enam juta orang Yahudi
tewas dibantai demi ambisinya mendirikan Jerman Raya.
Menurut Pendeta Dr Eka Darmaputera,
dalam buku Iman dalam Kehidupan,
kalau pertanyaan yang sama diajukan kepada orang-orang Kristen (gereja) di
Indonesia, sebagian besar dipastikan menjawab, gereja sebaiknya tidak boleh
mencampuri politik. Namun, kenapa demikian? Apakah ada yang salah dengan politik?
Tidak bisa dipungkiri, istilah
“politik” (politics) sering dikonotasikan secara negatif: politik
itu kotor; politik itu boleh menghalalkan segala cara; dan bidang politik
sebaiknya tidak dimasuki oleh orang baik-baik, karena kalau tidak ikut arus, cepat atau lambat akan
tersingkir. Ya, dalam sejarah politik, sejak mulai dikenal
dari Yunani kuno, politik memang sering diwarnai kecurangan dan kekerasan. Kita
lihat saja perjalanan politik Pakistan terkini. Tokoh kharismatis, ketua partai
Pakistan Peoples Party, Benazir Bhutto, tewas mengenaskan pada 27 Desember 2007
(diduga dibunuh oleh lawan-lawan politiknya), sebelum dia sempat mengubah citra
buruk politik negerinya. Dan bukankah peribahasa politik menyatakan, “Tidak ada
kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi?” Kita ingat pula, pernyataan
klasik sejarawan Inggris, Lord Acton (1834-1902) yang sering dikutip: “Power
tends to corrupt….” (Kekuasaan cenderung menyimpang). Maka, jangankan rakyat
awam, kalangan tertentu yang seharusnya paham tentang politik pun menjadi
ragu. Pakar politik,
Dr Sutradara Gintings, dalam suatu ceramah yang diadakan
oleh Moderamen GBKP mengatakan, acap kali dia enggan berbicara tentang politik
di hadapan kaum rohaniawan. Sebab politik sering dipahami dalam arti sempit,
yakni suksesi. “Kalau bicara politik di hadapan mereka, saya sering berpikir,
jangan-jangan nanti saya dicurigai untuk mendukung seseorang,” ujarnya.
Tentu saja, politik memiliki arti
luas. Prof Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-dasar
Ilmu Politik menulis, “Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan dan
melaksanakan tujuan-tujuan dari sistem itu.” Roger F Soltau dalam buku Introduction to Politics menulis, “Ilmu
politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan
melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dan warga negaranya
serta dengan negara-negara lain.” J Barents dalam Ilmu Politika menulis, “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari
kehidupan negara… yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik
mempelajari negara itu melakukan tugas-tugasnya.”
Jadi, politik pada hakikatnya
menawarkan berbagai pilihan kebijakan untuk mengurus negara dan hal-hal lain
yang berkaitan dengannya. Bahwa terdapat banyak penyimpangan dalam
pelaksanaannya, tidak bisa kita pungkiri, tapi yang jelas politik bertujuan
agar pemerintahan suatu negara terselenggara dengan baik. Dengan definisi
tersebut, maka warga gereja seharusnya tidak perlu merasa “tabu” berbicara
tentang politik, atau mengatakan bahwa politik itu bukan urusan gereja dengan
alasan dapat mencemarkan kekudusan gereja. Ketika tinggal di bumi, Yesus
sendiri tidak menghindar dari kegiatan politik. Ia pernah ditanya oleh
orang-orang Farisi dan Herodian tentang
pajak, “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan
membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Matius 22:17). Apa tanggapan-Nya?
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada
Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21). Bukankah
membayar pajak kepada negara merupakan bagian dari aktivitas politik?
Kita bisa pula mengambil pengalaman Nabi Yeremia pada masa Perjanjian
Lama tentang kegiatan politik. Allah berpesan melalui Yeremia agar disampaikan
kepada orang-orang Israel yang tinggal di pengasingan: “Usahakanlah
kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada
Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7). Bukankah
kegiatan politik begitu jelas terbaca dalam pernyataan itu?
Gereja harus turut bertanggung jawab
terhadap kegiatan politik. Gereja tidak bisa berpangku tangan terhadap
keputusan politik yang menindas rakyat. Sejarah mencatat, gereja berperan besar
atas tumbangnya kediktatoran Marcos di Filipina (1986). Namun, dicatat pula,
tewasnya jutaan orang di Jerman akibat membisunya gereja terhadap kebijakan
penjahat perang Adolf Hitler.
Suksesi atau pemilihan kepemimpinan
adalah salah satu bagian penting dari kegiatan politik. Sebagai warga negara,
terlebih warga gereja, kita harus ikut bertanggung jawab untuk mensukseskannya.
Ketiadaan pemimpin atau memilih pemimpin yang buruk akan membuat negeri di mana
kita tinggal, (semakin) tidak sejahtera. Bukankah Allah meminta orang-orang
Israel yang tinggal di pengasingan agar turut mengambil bagian dalam
menyejahterakan negeri musuh (Babel) sekali pun? Adalah suatu keharusan kalau
kita pun berdoa dan ikut ambil bagian dalam menyejahterakan negeri sendiri.
Patut kita perhatikan, biasanya
sebelum pemilihan diadakan, sejumlah calon
akan mengunjungi rumah-rumah ibadah secara intensif. Menebar pesona.
Membuat sejumlah janji. Tentu saja tidak ada yang salah dengan
kegiatan-kegiatan itu. Semakin mereka mendekatkan diri kepada kita (calon
konstituen), bukankah merupakan suatu kesempatan bagi kita untuk lebih jauh
mengenal karakter mereka? Namun, pertanyaan kita adalah di antara calon-calon,
siapakah yang kelak akan kita pilih? Sebagai warga yang takut akan Tuhan, tentu
saja kita memilih calon pemimpin bukan karena diiming-imingi oleh uang (money politics) atau faktor lain (suku,
agama, hubungan keluarga). Namun, ingatlah, ketika kita memilih pasangan calon
setelah menerima sesuatu dan mengabaikan karakter kepemimpinan, maka kita turut
membuat bangsa ini selalu kerdil dalam berpolitik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar