Selasa, 30 Mei 2017

Penginjilan di Tanah Batak Oleh Pdt. A. Mohri


 
             I.       Pendahuluan
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Ayat ini adalah merupakan Amanat Agung dari Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya ketika hendak terangkat ke Sorga. Para murid-murid melaksanakan Amanat Agung itu pada zaman-Nya dan kemudian dilanjutkan oleh orang-orang yang percaya kepada pemberitaan itu.
Missioner adalah seorang yang telah percaya dan menerima Injil di dalam kehidupannya. Salah seorang Missioner yang telah percaya dan menerima Injil adalah Pdt. A Mohri. Beliau bukan hanya sebagai pendengar Firman saja, melainkan juga bertindak sebagai pelaku Firman. Bersama dengan Pdt. I.L Nommensen, beliau melakukan Pekabaran Injil di Indonesia, secara khusus di Tanah Batak. Pdt. A Mohri bukanlah seorang yang pintar, akan tetapi dia memiliki banyak keahlian yang kemudian dapat membantunya di dalam Usaha Pekabaran Injil. Apa dan Bagaimana peranan Pdt. A Mohri di dalam perkembangan misi Pekabaran Injil di Tanah Batak?
Di dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana perananan Pdt. A Mohri dalam perkembangan misi Pekabaran Injil di Tanah Batak  dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
I.       Pendahuluan
II.    Isi
2. 1 Sejarah Kekristenan di Tanah Batak
2. 2 Penginjilan oleh Pdt. A. Mohri bersama Pdt. I. L Nommensen
2. 2. 1 Sejarah ringkas Pdt. Ingwer Ludwig Nommensen
2. 2. 2 Partisipasi Pdt. A. Mohri dalam Perkembangan Misi di Tanah Batak 
III. Kesimpulan
Daftar Pustaka
          II.       Isi
2. 1 Sejarah Kekristenan di Tanah Batak
Di Pulau Sumatera, agama Islam sudah tersebar sejak abad ke-13. Dari Aceh, agama itu meluas ke seluruh pantai Timur (abad ke-15), ke pantai Barat (abad ke-16) dan ke pedalaman Minangkabau serta Bangkahulu (abad ke-17). Hanya daerah orang Batak di sebelah Utara dan beberapa daerah terpencil lainnya yang tetap berpegang pada agama nenek moyang. Orang Portugis, lalu VOC, tidak berani menyerang kesultanan Aceh yang kuat dan kerajaan-kerajaan Sumatera yang lain.[1]
Sementara daerah-daerah pantai Timur, pantai Barat dan daerah pedalaman Minangkabau serta Bangkahulu pada abad 13-16 menjadi suatu wilayah Batak Islam, dalam dasawarsa 1860-an (abad ke-19) beberapa penginjil bangsa Eropa berhasil memulai kegiatannya di wilayah Tapanuli Utara (Batak Toba). Salah satu badan penginjil bangsa Eropa yang berhasil melakukan penginjilan di tanah Batak adalah Rheinische Mission Gesselschaft (RMG) yang berkantor di Wuppertal-Barmen, Jerman.[2] Pada tahun 1861, daerah tanah Batak dijadikan oleh RMG menjadi lapangan kerja misi penginjilan.[3] Tahun kehadiran lembaga ini di tanah Batak ditandai dengan pertemuan 4 (empat) orang missionaris di Parau Sorat, Tapanuli Selatan, pada tanggal 7 Oktober 1861. Keempat orang missionaris itu adalah Heine, Klammer, Betz, dan Van Asselt. Sebelum empat orang ini, telah ada Usaha Pekabaran Injil (UPI) di tanah Batak oleh Nathaniel Ward dan Richard Burton dari Gereja Baptis Inggris. Akan tetapi, usaha itu gagal karena orang Batak memberikan pernyataan kepada mereka bahwa orang Batak tidak sudi mengubah adat istiadat mereka. Usaha PI ke tanah Batak kemudian dilakukan oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari gereja Kongregasionalis Amerika yang diutus pada tanggal 10 Juni 1833 oleh The American Board of Commissioners for Foreign Missions (ABCFM), di Boston. Namun keduanya dibunuh di Lobu Pining oleh penduduk setempat pada tanggal 28 Juni 1834.[4]


Dari sekian banyak missionaris yang telah diutus oleh lembaga Pekabaran Injil RMG, usaha PI di tanah Batak yang paling sukses dilakukan oleh missionaris Ingwer Ludwig Nommensen. Setelah melalui berbagai kesulitan, akhirnya I.L Nommensen berhasil masuk ke wilayah tanah Batak, yakni ke wilayah Silindung pada tahun 1863. Di wilayah ini, I.L Nommensen berhasil melakukan berbagai pendekatan kepada masyarakat Batak, antara lain: melalui musik, obat, persahabatan dengan lapisan masyarakat bawah dan mendidik mereka menjadi jemaat Kristen.[5] Keberhasilan para missionaris Eropa, khususnya I.L Nommensen dalam melakukan Pekabaran Injil di tanah Batak juga berkembang hingga pada masa kini. Hal itu dapat dilihat dari banyak gereja-gereja yang telah berdiri di tanah Batak pada masa kini sebagai hasil dari Usaha Pekabaran Injil yang dilakukan oleh para missionaris-missionaris terdahulu. Tanah Batak tidak lagi dihuni oleh masyarakat yang percaya kepada roh nenek moyang, animisme, dan dinamisme. Akan tetapi, darah kekristenan telah mengalir di dalam diri setiap orang Batak melalui Injil yang telah diterima orang-orang Batak terdahulu yang kemudian mengalir secara turun-temurun kepada setiap keturunannya hingga pada masa sekarang.           

2. 2 Penginjilan oleh Pdt. A. Mohri bersama I. L Nommensen
2. 2. 1 Sejarah ringkas Ingwer Ludwig Nommensen[6]
Dr. Ingwer Ludwig Nommensen dilahirkan di pulau Nordstrand pada tanggal 6 Februari 1834. Dia berikrar untuk menjadi misionaris ketika dia mengalami sakit keras. Setelah mendapat kesembuhan, maka I.L Nommensen menepati janji/ikrar yang telah dia katakan kepada Tuhan Allah. Setelah dididik oleh badan Rheinische Mission Gesselschaft (RMG), kemudian I.L Nommensen ditahbiskan pada bulan Oktober 1861. setelah itu, I.L Nommensen berangkat dan diutus oleh RMG ke Sumatera untuk melakukan Pekabaran Injil. I.L Nommensen tiba di Padang pada tanggal 14 mei 1862. Rencananya adalah bekerja di kalangan orang Batak. Kesulitan yang dihadapi pada awalnya yaitu adanya larangan untuk bekerja di daerah pedalaman dan adanya komitmen sesama misionaris untuk memusatkan perhatian pada daerah Tapanuli Selatan. Setelah berusaha keras, I.L Nommensen akhirnya diizinkan untuk bekerja di daerah Barus. Ingwer Ludwig Nommensen tinggal di daerah Barus, mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu. Pada waktu itu, daerah bagian selatan Tanah Batak telah dikuasai oleh agama Islam.[7] Oleh karena itu, I.L Nommensen melakukan perjalanannya ke daerah pedalaman pada tanggal 25 oktober 1862. Perjalanan tersebut dianggap sangat berhasil. Lalu beliau pindah ke Sipirok dan di sana bertugas untuk mendirikan sebuah sekolah. Pada bulan Nopember 1863, dia mengunjungi daerah Silindung. Di daerah ini, dia menghadapi masalah sifat permusuhan dari raja-raja di daerah tersebut. Namun dia sudah bertekad untuk dapat tinggal di sana, mengenal sifat orang Batak dan melayani mereka. Di daerah Silindung, I.L Nommensen mendapat dukungan dari seorang kepala suku Batak, yaitu: Raja Pontas Lumbantobing, sehingga I.L Nommensen berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya yang dihadapinya berkat bantuan Raja Pontas Lumbantobing.[8] Keteguhan hatinya untuk hidup sederhana yang bersifat penyangkalan diri, ketekunan dan kepandaiannya dibidang pengobatan menyebabkan dia dapat tinggal dengan orang Batak dan melayani mereka, jasmani maupun rohani. Rencananya adalah untuk hidup jauh dari kehidupan perekonomian setempat dan akhirnya mendirikan suatu koloni Kristen yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
Dalam sepucuk surat yang dikirimkannya ke Barmen, dia berbicara tentang suatu penglihatan yang dia perolah tentang hari depan masyarakat yang dilayani ini : “Dalam roh saya melihat dimana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah dan gereja-gereja kelompok orang Batak tua dan muda yang berjalan ke gereja-gereja ini. Di setiap penjuru saya mendengar bunyi lonceng gereja yang memanggil orang-orang beriman datang ke rumah Alah. Saya melihat dimana-mana sawah-sawah dan kebun-kebun yang telah diusahakan, padang-padang penggembalaan dan hutan-hutan yang hijau, kampung-kampung dan kediaman-kediaman yang teratur disalamnya terdapat keturunan-keturunan yang berpakaian pantas. Selanjutnya, saya melihat pendeta-pendeta dan guru-guru orang pribumi Sumatera berdiri di panggung-panggung dan di atas mimbar-mimbar, menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua. Anda mengatakan bahwa saya seorang pemimpin, tetapi saya berkata : tidak, saya tidak. Saya tidak bermimpi. Iman saya melihat ini semua; hal ini akan terjadi, karena seluruh kerajaan akan menjadi milikNya dan setiap lidah akan mengetahuibahwa Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Karena itu, saya merasa gembira, walaupun rakyat mungkin menentang firman Allah, yang mereka lakukan tepat seperti mudahnya mereka mencegah firman Allah dari hati mereka. Suatu aliran berkat pastilah akan mengalir atas mereka. Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus, kemudian Matahari Kebenaran dalam segala kemulianNya akan bersinar atas seluruh tepi-langit tanah Batak dari Selatan bahkan sampai ke pantai-pantai Laut Toba”. Menurut berbagai sumber, penglihatan tersebut diperolehnya ketika beliau berdoa di Siatas Barita, Tarutung. Ketika I.L Nommensen meninggal pada tanggal 23 Mei 1918, Gereja telah bertumbuh dan mencakup kurang lebih 180.000 orang anggota jemaat yang dibaptis, telah berdiri sekolah-sekolah yang berjumlah 510 gedung yang mempunyai 32.700 orang murid yang terdaftar dan gereja yang dipimpin oleh 34 orang Batak yang ditahbiskan, 788 orang guru Injil dan 2.200 orang Penatua.

2. 2. 2 Partisipasi Pdt. A. Mohri dalam Perkembangan Misi di Tanah Batak 
Kedatangan para missionaris ke daerah tanah Batak telah berhasil membawa perubahan besar bagi orang Batak. Salah satu missionaris yang berhasil melakukan Usaha Pekabaran Injil di tanah Batak adalah I.L Nommensen. Salah satu daerah tempat Pekabaran Injil oleh I.L Nommensen yang dijadikan sebagai pusat pelayanan adalah daerah Silindung. Ingwer Ludwig Nommensen telah banyak membuat perubahan di dalam kehidupan orang-orang Batak pada masa itu, bukan hanya perubahan dalam bidang kerohanian, melainkan juga perubahan dalam bidang sosial-ekonomi, bidang kesehatan, dan bidang pendidikan. Perubahan-perubahan itu terjadi disebabkan karena keberhasilan misi yang dilakukan oleh I.L Nommensen yang disebut dengan metode misi empat dimensi, meliputi: Pendidikan, Kesehatan, Kerohanian, dan Sosial-Ekonomi.[9]   
Setelah RMG (Rheinische Mission Gesselschaft) melihat perkembangan misi yang sangat pesat di tanah Batak, maka badan ini mengutus para missionaris lainnya untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak. Dua orang missionaris yang diutus oleh badan RMG itu adalah: Pdt. P.H Johansen dan Pdt. A. Mohri yang bertugas membantu Ingwer Ludwig Nommensen di wilayah Silindung. Mereka berdua membantu I.L Nommensen dalam bidang pendidikan.
Pada tahun 1874, hampir 10 tahun sejak pembukaan perkampungan warga Kristen Huta Dame, I.L Nommensen bersama dengan dua orang missionaris yang diutus oleh badan RMG (P.H Johansen dan A. Mohri), memutuskan akan menyelenggarakan kelas sekolah permanent sebagai peningkatan dari model kelas yang belajar katekisasi. Para murid pemula adalah anak-anak dan remaja dalam batas usia yang masih cocok untuk mengikuti Sekolah Dasar.[10]
Meskipun Sekolah Dasar zending telah dibuka secara resmi oleh I.L Nommensen, masih cukup besar kendala yang dihadapi yakni soal pengadaan bangunan sekolah dan pengadaan pengajar. Pengadaan bangunan sebagai sarana untuk belajar masih belum memadai dibandingkan dengan jumlah anak-anak yang bersekolah pada masa itu. Oleh karena itu, I.L Nommensen, P.H. Johansen, dan A. Mohri selaku tim pengajar mendirikan sekolah yang disebut dengan “Sekolah Mardalan-dalan” yang dibagi dalam tiga tempat, yaitu: Huta Dame, Pansur Napitu dan Sipoholon. Ketiga Missionaris itu berpisah dalam tiga pos pelayanan penginjilan itu, yaitu: I.L Nommensen berada di Huta Dame, P.H Johansen di Pansur Napitu, dan A. Mohri di Sipoholon. Para siswa harus datang mengunjungi mereka secara bergiliran ke tempat pelayanan mereka masing-masing. Para murid harus melewati pematang-pematang sawah dan lumpur sejauh 8 Km untuk dapat sampai di tempat guru-guru mereka. Adapun pendidikan yang akan diperoleh oleh para murid dari ketiga penginjil ini, yaitu: pada hari senin dan selasa, para murid belajar kepada I.L Nommensen di Huta Dame. Pada hari rabu dan kamis, para murid belajar kepada P.H Johansen di Pansur Napitu, dan pada hari jum’at para murid belajar kepada A. Mohri di Sipoholon. Penempatannya di Sipoholon menjadikan A. Mohri menjadi seorang guru (pengajar). Pdt. A. Mohri mengajar para murid untuk mempelajari bahasa Melayu, Agama Islam, musik, bernyanyi, bermain orgel, dan mengajarkan tentang ikhwal penataan jemaat.[11] Pada hari sabtu, para murid berlatih dan belajar sendiri di rumah zending, atau di kampung sendiri bagi yang tidak tinggal di Huta Dame. Kemudian pada hari Minggu, murid-murid diajak oleh ketiga guru secara bergiliran untuk mengunjungi kampung-kampung di wilayah Silindung untuk melakukan evangelisasi dengan iringan lagu-lagu koor yang sangat merdu.[12] Demikianlah tugas dari Pdt. A Mohri dalam pelaksanaan misi Pekabaran Injil di Tanah Batak. Pdt. A Mohri adalah rekan kerja dari I.L Nommensen dalam bidang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat Batak sehingga terhindar dari kemiskinan dan kebodohan. 

       III.       Kesimpulan
Keberhasilan misi di Tanah Batak yang dilakukan oleh para missioner adalah ditentukan oleh cara pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan Usaha Pekabaran Injil itu. Seorang yang termasuk missioner yang bernama Pdt A Mohri bersama dengan Pdt. I.L Nommensen telah berhasil memberitakan kabar sukacita (Injil) di tengah-tengah kehidupan orang Batak. Keberhasilan mereka adalah bukan hanya sekedar berhasil dalam menyampaikan Injil, melainkan juga berhasil dalam mengentaskan kebodohan pada masa itu melalui pendidikan. Ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh Pdt. A Mohri dengan senang hati diajarkan kepada orang-orang Batak pada masa itu, sehingga melaluinya banyak melahirkan tokoh-tokoh pemikir yang tidak berpikir Naif dan Radikal.     



















DAFTAR PUSTAKA

End, Th. van den
2007                            Harta Dalam Bejana (Sejarah Gereja Ringkas), Jakarta: BPK-Gunung Mulia

Hutauruk, J.R
1993                            Kemandirian Gereja,
Jakarta: BPK-Gunung Mulia

Lempp, W.
1976                                                  Benih Yang Tumbuh (Gereja-Gereja Sumatera   
                                    Utara),
      Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI

Lumbantobing, Andar
1996                                                 Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak,  
Jakarta: BPK-Gunung Mulia

Lumbantobing, K.M
1996                                                        Missionaris Lokal,
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM
M.S.E Simorangkir,
2008                            Ajaran Dua Kerajaan Luther,
Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI

S, J,  Th. Van den End dan J. Weitjens.
2008                            Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-Gunung Mulia

Sihombing, S.
2008/2009                   Diktat: Mata Kuliah Sejarah Gereja Batak, Pematangsiantar: STT-HKBP


Sihombing, P.T.D
2004                            Benih Yang Disemai Dan Buah Yang Menyebar, Jakarta: Albert-Orem Ministry

Sumber dari Internet:
Chandra Hutabarat, Sejarah Ringkas Pelayanan Pdt. Dr. I.L Nommensen di Tanah Batak (http://gindagelo.blog.friendster.com/tag/hkbp/), diambil tgl. 12 Mei 2009



[1] Th. Van den End dan J. Weitjens. S. J, Ragi Carita 2 (Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an-sekarang), (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), hlm. 181
[2] M.S.E Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), hlm. 249-250
[3] J.R Hutauruk, Kemandirian Gereja, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993), hlm. 36
[4] W. Lempp, Benih Yang Tumbuh  12 – Gereja-Gereja Sumatera Utara, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1976), hlm. 111
[5]  M.S.E Simorangkir, Op. Cit., hlm. 250
[6] Chandra Hutabarat, Sejarah Ringkas Pelayanan Pdt. Dr. I.L Nommensen di Tanah Batak (http://gindagelo.blog.friendster.com/tag/hkbp/), diambil tgl. 12 Mei 2009
[7] Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1996), hlm. 69
[8] Th. van den End, Harta Dalam Bejana (Sejarah Gereja Ringkas), (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2007),  hlm. 269
[9] S. Sihombing, Diktat: Mata Kuliah Sejarah Gereja Batak, (Pematangsiantar: STT-HKBP, 2008/2009), hlm. 39
[10] P. T .D Sihombing, Benih Yang Disemai Dan Buah Yang Menyebar, (Jakarta: Albert-Orem Ministry, 2004), hlm. 96
[11] K. M Lumbantobing, Missionaris Lokal, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 1996), hlm. 17
[12] P. T .D Sihombing, Op. Cit., hlm. 97-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar