I. Pendahuluan
Seperti mata rantai yang terjalin hubungan,
dan tak terputuskan satu dengan yang lain, demikianlah hubungan manusia dengan
alam. Manusia dan alam berintegrasi korelatif, saling tergantung dan saling
membutuhkan. Namun ada ketimpangan yang terjadi, dalam integrasi tersebut
manusia melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap alam, yang berakibat
kepada rusaknya alam itu. Apakah itu disadari atau tidak, yang jelas manusia
harus segera memperbaiki kembali hubungan integrasi itu dengan sikap etis yang
bertanggungjawab.
II. Deskripsi
2.1 Manusia
Manusia adalah mahluk hidup yang cerdas dan
mengalami pertumbuhan, dimana manusia dapat menyusun suatu etika dan perbuatan.
Manusia sebagai mahluk hidup haruslah berjuang demi kehidupannya.[1] Manusia memiliki keunggulan
berpikir dibanding dengan mahluk yang lain. Manusia dapat “menyatakan
sesuatu, mempertimbangkan, berkehendak, memilih dan juga berbuat”
dengan bebas. Tetapi dalam pandangan etis, kebebasan manusia itu adalah
tanggung jawab moral sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dari makhluk yang
lain.[2]
2.2 Ekologi
Ekologi berasal dari kata ‘ecology’
(Inggris). Kata ini terbentuk dari dua kata Yunani: ‘oikos’ berarti: rumah,
rumah-tangga, keluarga atau tempat tinggal; dan kata ‘logos’ berarti: ilmu,
pengetahuan atau uraian tentang. Jadi ekologi adalah ilmu pengetahuan yang
menguraikan tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup (manusia,
binatang, dan tumbuhan) dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati di
sekitarnya (alam).[3]Untuk mempelajari dan mengetahui
keseimbangan dalam hubungan-hubungan itu dibutuhkan suatu ilmu pengetahuan,
yang disebut ekologi.
Dalam
ekologi, ditunjukkan bahwa
bumi mengalami proses dinamis yang melibatkan manusia dan makhluk-makhluk hidup
dalam interaksi yang saling mempengaruhi sehingga terwujud suatu keseimbangan.
Lingkungan tempat berlangsungnya proses dinamis itu disebut ekosistem yaitu
aturan atau tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi dan saling bergantung. Secara ringkas dapat dikatakan semua ekosistem meliputi
interaksi antara lingkungan biotik (alam hidup: tumbuh-tumbuhan, hewan,
manusia) dan lingkungan abiotik (alam tak hidup: tanah, air, udara, batu dll). Dan
apabila keseimbangan dan keharmonisan tatanan itu terganggu melalui kerusakan
atau pencemaran, maka manusia dan makhluk hidup lainnya akan terancam.[4]
III. Analisis
3.1 Tinjauan Teologis Hubungan Alam Dan
Manusia
Pada kitab Kejadian dengan jelas diterangkan
cerita tentang penciptaan langit dan bumi. Pada hari pertama Allah menciptakan
langit dan bumi dan segala isinya (Kej. 1:1). Dunia yang diciptakan oleh Allah
dan Allah tetap melihatnya – enam kali diulang (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21 dan
25) dan menyatakan dengan sederhana: “Semuanya baik”. Ungkapan itu jelas
menunjukkan bahwa Allah menikmati ciptaan tersebut. Kata “baik” dalam bahasa
Ibrani mempunyai arti yang lebih luas dari pada sekedar masalah etika, tetapi
mencakup estetika. Kata “baik” ini juga berarti menggemakan sukacita yang
menyertai karya ciptaan Allah.[5] Dengan melihat bahwa ternyata dunia
tempat tinggal manusia itu pada awalnya adalah baik diciptakan oleh Allah,
namun ternyata dunia yang baik itu telah rusak dan tercemar oleh karena
pelanggaran manusia terhadap kehendak Allah. Oleh sebab itu, patutlah jika
disuratkan bahwa Tuhan bersesal, sebab manusia mendukacitakan
hatiNya. Apakah yang menjadi keputusan atas “sesal” itu? Air bah adalah
jawabnya. Artinya dalam “sesal” itu ada tindakan Allah untuk memperbaikinya
kembali. Bumi yang dibanjiri oleh dosa membuat Allah murka dan kemudian karena
dosa itu maka bumi dibanjiri air selama 40 hari sampai binasa. Akan tetapi
dalam murka Allah ada anugerahNya, yaitu dengan penyelamatan Nuh terlebih
dahulu untuk memisahkannya dari orang-orang lain yang akan binasa itu.[6]
Dengan melihat apa yang
terjadi dalam masa Nuh itu, sebenarnya menyimpan maksud untuk menonjolkan
pokok-pokok dasar Iman Israel yaitu: adanya kenyataan hukuman, dimana
Allah memberikan perhatian yang besar kepada manusia. Maka, apabila manusia
terjangkiti kejahatan Ia akan memutuskan memusnahkan dunia karena kejahatan
akan hanya menuju kepada kehancuran. Selanjutnya, adanya kenyataan
penyelamatan Allah,maksudnya adalah Allah menghukum manusia bukanlah
sebagai kata atau tindakan terakhir. Ada satu orang yang mendapat kasih karunia
Allah yaitu yang tidak bercela di hadapan Allah. Sehingga setelah berakhirnya
air bah maka berakhirlah dunia yang penuh dengan dosa dan muncullah jaman
baru yang didasari oleh janji ilahi. Allah berjanji bahwa Ia akan
memberikan kelestarian dan keteraturan yang abadi kepada dunia dan isinya (Kej.
8:21). Sungguh ini adalah suatu dunia jaman baru. Dan manusia harus bertanggung
jawab untuk mengelolanya.
3.2 Permasalahan Manusia dengan Alam
Semangat kapitalisme yang telah mendarah
daging, menjadikan manusia tidak lagi memikirkan kondisi lingkungan.
Kapitalisme telah menjadi cara sebagian besar kehidupan umat manusia dan
mengiringi setiap manusia yang tak luput dari masalah-masalah keduniaan. Tidak
dapat dipungkiri, manjadi orang kapitalis sampai saat ini masih terus bertambah
hingga tidak terhitung jumlahnya. Semangat kapitalisme yang telah mendarah
daging, menjadikan manusia tidak lagi memikirkan kondisi lingkungannya yang
semakin terancam. Keinginan untuk menjadi kaya diwujudkan dengan
mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Merambah hutan, mendirikan pabrik,
memproduksi kendaraan secara besar-besaran (yang tentu menjadikan pemakaian
bahan bakar yang banyak), dll.[8]Karena
semangat kapitalisme inilah manusia menjadi perusak alam yang menjadi tumpuan
dan harapan akan adanya jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia.
3.2.2 Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk turut
mempengaruhi terjadinya krisis ekologi saat ini. Pengrusakan lingkungan hidup
sangat berkaitan erat dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Jumlah
penduduk dunia kian hari kian bertambah banyak. Diperkirakan sumber daya alam
tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup lebih dari 6 milyar jiwa penduduk
bumi. Penduduk beberapa kota besar di dunia ini sekarang sudah mengkuatirkan
ketersediaan air minum dan persediaan energi.[9] Pertambahan jumlah penduduk juga
telah menyebabkan manusia untuk berusaha bertahan hidup dengan segala upaya.
Setiap orang demi kebutuhan hidupnya harus menggunakan persediaan sumber daya
alam yang ada. Banyak yang dulunya adalah hutan tropis kemudian digantikan
menjadi lingkungan perkotaan, pemukiman, lokasi industri dan tempat rekreasi.
Ini sangat mengancam keberadaan bumi ini. Kalau seluruh penduduk bumi ingin
hidup baik, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin terjadi yaitu
mengurangi jumlah penduduk global 87,5% atau menemukan delapan bumi baru[10].
3.2.3 Pembangunan
Pembangunan yang keliru
dapat dikatakan merupakan penyebab pertama terjadinya krisis ekologi. Hal ini
terjadi karena pembangunan selalu membutuhkan energi yang sangat besar,
misalnya pembangunan industri dan pembangunan infrastruktur. Tanpa memikirkan
sumber daya alam yang akan habis oleh pembangunan tersebut. Industri sangat
membutuhkan bahan mentah dan bahan bakar yang banyak. Hal tersebut secara nyata
telah menyebabkan berkurangnya sumber daya alam yang ada.[11]
Industri-industri
besar akan banyak menghasilkan limbah yang menyebabkan tanah akan keracunan,
polusi udara bahkan polusi suara. Demikian juga bertambahnya jumlah penduduk
akan menyebabkan bertambahnya limbah rumah tangga, berupa sampah organik dan
sampah anorganik. Dan tentunya semua itu akan mempercepat kerusakan alam ini.
3.3 Etika Ekologis Kristen
Manusia bagian dari alam, dalam
artian bahwa manusia juga mempunyai peran serta dalam proses-proses biologis
dan fisiologis seperti mahluk hidup lainnya. Namun manusia juga terpisah dari
alam karena manusia memiliki kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara
sadar tentang cara merubah alam ini. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
manusia memandang alam itu sebagai sumber daya untuk dikelola bagi kehidupan
manusia itu. Dalam pendekatan etis kekristenan, manusia adalah segambar dengan
Allah, di mana manusia memiliki hubungan yang khusus dengan Allah dibanding
dengan ciptaan yang lain. Dari hubungan itulah tercipta tanggung jawab yang
khusus untuk bertindak sebagai penatalayan dan pelaksana harian pemeliharaan
ciptaan. Jadi manusia diberi mandat untuk memelihara bumi, bukan
mandat mengekploitasi.[12]
Alam dan manusia adalah satu paket dalam hubungan dengan perjanjian Allah. Bumi
adalah bagian dari alam semesta tempat bermukim manusia. Dengan demikian barang
siapa yang merusak alam berarti ia merusak hubungan perjanjian itu. Disamping
itu, pengerusakan alam akan mendatangkan kerusakan hidup umat manusia. Dalam
kaitan ini, umat manusia tidak punya keistimewaan dengan ciptaan lainnya.
Disitulah adanya saling ketergantungan di dalam komunitas manusia dengan alam
semesta, yang mana manusia menerima mandat untuk memeliharanya.
Dalam mandat itu, ada tiga model pertanggungjawaban manusia terhadap ciptaan
Alllah, yakni:[13] Pertama, model penatalayanan,
yaitu menuntut manusia bertindak sebagai penatalayan dalam hidup berlingkungan
hidup. Oleh karena itu, manusia selaku penghuni bumi mengemban
pertanggungjawaban memelihara alam semesta. Kedua, model persahabatan, yaitu
adanya kesadaran bahwa bumi ini bukan hanya sebuah benda yang tak bermakna,
melainkan sebuah tempat yang dipilih Allah untuk menjadi habitat khusus umat
manusia. Bumi ini juga merupakan bagian yang dikasihi Allah (Yoh. 3:16), maka
manusia menjadi partner Kristus dalam memelihara dan memperbaharui bumi ini.
Dan yang ketiga, model kekeluargaan, yaitu kesadaran bahwa
umat manusia sekarang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan generasi yang
sebelumnya dan yang sesudahnya, oleh sebab itu manusia sekarang adalah yang
menjadi pewaris bumi ini kepada generasi selanjutnya.
Karena itu, manusia tidak
boleh hanya peduli pada dirinya sendiri, melainkan juga pada bagian-bagian lain
dari dunia ini, yakni seluruh mahkluk hidup dan benda-benda mati di
seluruh alam.[14] Dengan begitu manusia dalam
hal ini menjaga dan memelihara alam bukan demi kepentingannya sendiri tetapi
kerena martabatnya sebagai mahkluk ciptaan Allah yang bertanggungjawab untuk menjaga
alam.[15]
3.4 Peran Gereja Yang Ekumene
Peranan gereja yang terpenting berhubungan
dengan lingkungan alam dan pertumbuhan adalah menolong orang-orang mencari
patokan untuk menilai kemajuan. Banyak mata orang tersilau oleh kemegahan dunia
modern. Mereka diombang-ambingkan oleh arus yang kurang mengerti. Dalam hal ini
gereja perlu menolong mereka mengerti dan bila perlu menentang arus itu.[16]
Gereja
selaku persekutuan orang percaya tidak hanya bertanggung jawab untuk mewujudkan
persekutuan di antara sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan. Selama
ini ekumene hanya dimengerti sebagai hubungan interdenominasi gereja,
padahal arti kata oikos menunjuk pada bumi atau dunia sebagai
tempat tinggal. Habitat adalah inti makna dari semua kata eko; ekonomi,
ekologi, dan ekumenesitas.
Oleh
karena itu, tujuan ekumene tidak bisa lagi terbatas pada usaha pembentukan
Gereja Kristen yang Esa atau menciptakan hubungan yang harmonis di antara orang
Kristen, tetapi harus menjangkau wawasan yang lebih luas, sesuai dengan arti
dan makna yang terkandung dalam kata ekumene, yaitu dunia atau
kosmos ini secara keseluruhan, khususnya hubungan dengan seluruh ciptaan. Kita
perlu membedakan antara kataecumenical dan kata ecumenic,
yang akar katanya sama yaitu oikos, tetapi maknanya berbeda.
Kalau ecumenical berbicara tentang kesatuan iman, maka ecumenic berbicara
tentang kesatuan manusia dengan segala sesuatu yaitu dengan semua realitas
ciptaan Allah. Akan tetapi, keduanya mempunyai hubungan sebab kesatuan iman
harus mempunyai implikasi terhadap kesatuan dengan seluruh ciptaan. Intinya
harus dipahami bahwa ciptaan adalah tempat kehadiran Allah. Jadi, gereja
ekumene (berasal dari oikos) menunjuk pada rumah tempat kehadiran
dan kediaman Allah, maka sebagai jemaat gereja harus sejalan dengan Allah.
Jemaat gereja adalah rekan sekerja Allah dalam menatalayani dunia.
Bumi ini adalah anugrah bagi manusia, dan
akan menjadi warisan kepada manusia generasi mendatang. Bagi manusia, tak
seorang pun yang ingin mewariskan harta bendanya kepada keturunannya dalam
keadaan rusak. Demikianlah halnya dengan bumi ini yang akan diwariskan kepada
generasi berikutnya. Harapan akan kelestarian alam harus dipersiapkan dan
diwujudkan semaksimal mungkin untuk kehidupan yang berkelanjutan dan berdamai
sejahtera. Tanggung jawab itu adalah menjaga keutuhan segala ciptaan dan
mengembalikannya agar seluruh ciptaan itu tidak bercacat sebagaimana diwariskan
Allah kepada umat manusia. Oleh sebab itu, semua insan jangan hanya
berorientasi kepada prestasinya saja tanpa mempedulikan tindakannya apakah
sudah merusak alam atau tidak.
Kesadaran akan kerusakan bumi dan memperbaikinya akan menjadi warisan yang baik
bagi generasi yang akan datang. Dengan menyelamatkan bumi ini, akan semakin
memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan menjalankan mandat yang diberikan
Allah.[18]
Dalam hal ini peran
gereja mendapat tempat penting, karena gereja merupakan bagian dari dunia. Sebagai
bagian dari dunia, maka gereja terpanggil untuk terlibat aktif dalam kesatuan
dengan bagian-bagian lain dari dunia.
Jika
keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus dipahami sebagai keselamatan untuk
seluruh ciptaan, maka gereja terpanggil tidak hanya untuk menyatakan pelayanan
dengan sesamanya manusia, tetapi juga dengan sesama ciptaan. Gereja harus
melaksanakan pendamaian dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah. Sejalan
dengan hal ini, Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) memahami pendamaian dan
pembaruan ciptaan sebagai tujuan dari misi gereja.[20]
Sejak
tahun 1968 dalam Sidang Raya IV DGD di Upsala, Swedia, DGD membahas perhatian
dan tanggung jawab gereja-gereja terhadap lingkungan hidup. Sedangkan, di
Indonesia sendiri, baru dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989,
dikukuhkan secara eksklusif pengertian pemberitaan Injil yang mencakup usaha
pelestarian lingkungan hidup. Selain sebagai bagian dari tugas pemberitaan
Injil, tugas pengelolaan dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan hidup
menjadi salah satu dasar bagi gereja-gereja di Indonesia untuk berpartisipasi
dalam pembangunan nasional. Bagi gereja-gereja di Indonesia, terdapat suatu permasalahan
tersendiri dalam usahanya untuk menjadi penatalayan dunia. Pertama,
gereja-gereja di Indonesia masih terkotak-kotakan dalam berbagai denominasi, di
mana masing-masing denominasi memiliki concern tersendiri.
Kedua, konsep ecumenic sendiri belum begitu populer di
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk lebih menggugah kesadaran
gereja-gereja di Indonesia akan perannya menjadi penatalayan dunia melalui
berbagai cara, misal: diskusi teologis.
Diskusi
yang perlu dikembangkan adalah sebuah etika bagi komunitas bumi
(mencakup semua yang ada, baik yang hidup maupun tidak), karena masalah ekologi
umumnya terkait dengan pandangan etis. Etika ini berdasarkan pada
pernyataan sederhana bahwa "semua yang ada, ada bersama”. Ibarat tubuh,
apabila kita tidak memelihara kesehatan tubuh kita, misalnya dengan istirahat
yang teratur dan makan, minum yang baik, maka lama-kelamaan kita akan sakit.
Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh bagian tubuh tertentu, tetapi juga oleh
seluruh tubuh. Oleh karena itu, manusia sebagai ciptaan yang berakal budi sudah
seharusnya lebih arif dalam menatalayani dunia ini. Di sinilah peran gereja
ditantang. Apakah ia berani menjadi nabi yang memperingatkan para pemimpin (di
dunia) dalam menentukan kebijakannya, ataukah justru ia kehilangan peran
kenabiannya.
V. Kesimpulan
Manusia
dan alam memiliki keterikatan yang erat dalam hubungan dengan Allah dan Allah
memberi mandat kepada manusia untuk bertanggungjawab atas kelangsungan dan
kelestarian alam.
[3] GKPS, Ekologi, http://www.gkps.or.id/organisasi/142-ekologi.html,
30 November 1999, dikunjungi: 17 Oktober 2009.
[4] GKI, Gereja
& Lingkungan Hidup, http://suplemengki.com/?p=156,
03 Februari 2008, dikunjungi: 17 Oktober 2009.
http://jalansunyi.com/ver2/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38,
27 Juli 2008, dikunjungi : 17 Oktober 2009.
[8] Gatot
Susanta & Hari Sutjahjo (Peny), Akankah Indonesia Tenggelam Akibat
Pemanasan Global, Penebar Plus, Jakarta, 2007. hal. 32.
[9] Binsar
Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-Hari Bagi
Warga Gereja, L-SAPA STT-HKBP, Pematangsiantar, 2007, hal.
132.
[10] Victor
Tinambunan, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di
Tengah Krisis Multi Wajah, L-SAPA STT HKBP, Pematangsiantar, 2006,
hal. 54.
[14] Manusia
dan alam merupakan bagian dari perjanjian Allah, artinya manusia dan alam
merupakan bagian dari tujuan penyelamatan Allah sebagaimana yang terdapat di
dalam Markus 16:15. Injil yang merupakan berita keselamatan bukan hanya
diberikan kepada manusia saja tetapi juga untuk seluruh ciptaan Allah dan
termasuklah di dalamnya alam.
[16] Malcolm
Brownlee, Keterlibatan Dan Kewibawaan Manusia Dalam Lingkungan Alam,
BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1982, hal. 26-27.
[17] Reinjustin
Gultom, Manusia dan Lingkungan Hidup dalam: Nekson M.
Simanjuntak dkk.(ed.), Pelayanan yang memperlengkapi Jemaat, PGI
Sumatera Utara, Medan, 2009, hal. 345-347.
[18] Lihat VISI
MISI DAN KOMITMEN JPIC (Justice, Peace and Integration of Creation),http://www.svdjawa.org/jpic.htm,
dikunjungi tgl. 31 Oktober 2009. JPIC adalah merupakan organisasi yang
melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan
mencoba untuk memperbaiki keadaan alam yang mulai rusak. Ini adalah tindakan yang
harus didukung dan perlu ditiru dan dilakukan oleh yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar