Kamis, 21 Juli 2016

MANUSIA DAN ALAM (Tinjauan Etis-Ekologis Kristen Terhadap Hubungan Manusia Dengan Alam)




I. Pendahuluan
Seperti mata rantai yang terjalin hubungan, dan tak terputuskan satu dengan yang lain, demikianlah hubungan manusia dengan alam. Manusia dan alam berintegrasi korelatif, saling tergantung dan saling membutuhkan. Namun ada ketimpangan yang terjadi, dalam integrasi tersebut manusia melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap alam, yang berakibat kepada rusaknya alam itu. Apakah itu disadari atau tidak, yang jelas manusia harus segera memperbaiki kembali hubungan integrasi itu dengan sikap etis yang bertanggungjawab.

II. Deskripsi
2.1 Manusia
Manusia adalah mahluk hidup yang cerdas dan mengalami pertumbuhan, dimana manusia dapat menyusun suatu etika dan perbuatan. Manusia sebagai mahluk hidup haruslah berjuang demi kehidupannya.[1]  Manusia memiliki keunggulan berpikir dibanding dengan mahluk yang lain. Manusia dapat “menyatakan sesuatu, mempertimbangkan, berkehendak, memilih dan juga berbuat”  dengan bebas. Tetapi dalam pandangan etis, kebebasan manusia itu adalah tanggung jawab moral sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dari makhluk yang lain.[2]  

2.2 Ekologi
Ekologi berasal dari kata ‘ecology’ (Inggris). Kata ini terbentuk dari dua kata Yunani: ‘oikos’ berarti: rumah, rumah-tangga, keluarga atau tempat tinggal; dan kata ‘logos’ berarti: ilmu, pengetahuan atau uraian tentang. Jadi ekologi adalah ilmu pengetahuan yang menguraikan tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup (manusia, binatang, dan tumbuhan) dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati di sekitarnya (alam).[3]Untuk mempelajari dan mengetahui keseimbangan dalam hubungan-hubungan itu dibutuhkan suatu ilmu pengetahuan, yang disebut ekologi.
Dalam ekologi, ditunjukkan bahwa bumi mengalami proses dinamis yang melibatkan manusia dan makhluk-makhluk hidup dalam interaksi yang saling mempengaruhi sehingga terwujud suatu keseimbangan. Lingkungan tempat berlangsungnya proses dinamis itu disebut ekosistem yaitu aturan atau tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi dan saling bergantungSecara ringkas dapat dikatakan semua ekosistem meliputi interaksi antara lingkungan biotik (alam hidup: tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia) dan lingkungan abiotik (alam tak hidup: tanah, air, udara, batu dll). Dan apabila keseimbangan dan keharmonisan tatanan itu terganggu melalui kerusakan atau pencemaran, maka manusia dan makhluk hidup lainnya akan terancam.[4]

III. Analisis
3.1 Tinjauan Teologis Hubungan Alam Dan Manusia
Pada kitab Kejadian dengan jelas diterangkan cerita tentang penciptaan langit dan bumi. Pada hari pertama Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya (Kej. 1:1). Dunia yang diciptakan oleh Allah dan Allah tetap melihatnya – enam kali diulang (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21 dan 25) dan menyatakan dengan sederhana: “Semuanya baik”. Ungkapan itu jelas menunjukkan bahwa Allah menikmati ciptaan tersebut. Kata “baik” dalam bahasa Ibrani mempunyai arti yang lebih luas dari pada sekedar masalah etika, tetapi mencakup estetika. Kata “baik” ini juga berarti menggemakan sukacita yang menyertai karya ciptaan Allah.[5]  Dengan melihat bahwa ternyata dunia tempat tinggal manusia itu pada awalnya adalah baik diciptakan oleh Allah, namun ternyata dunia yang baik itu telah rusak dan tercemar oleh karena pelanggaran manusia terhadap kehendak Allah. Oleh sebab itu, patutlah jika disuratkan bahwa Tuhan bersesal, sebab manusia mendukacitakan hatiNya. Apakah yang menjadi keputusan atas “sesal” itu? Air bah adalah jawabnya. Artinya dalam “sesal” itu ada tindakan Allah untuk memperbaikinya kembali. Bumi yang dibanjiri oleh dosa membuat Allah murka dan kemudian karena dosa itu maka bumi dibanjiri air selama 40 hari sampai binasa. Akan tetapi dalam murka Allah ada anugerahNya, yaitu dengan penyelamatan Nuh terlebih dahulu untuk memisahkannya dari orang-orang lain yang akan binasa itu.[6]
Dengan melihat apa yang terjadi dalam masa Nuh itu, sebenarnya menyimpan maksud untuk menonjolkan pokok-pokok dasar Iman Israel yaitu: adanya kenyataan hukuman, dimana Allah memberikan perhatian yang besar kepada manusia. Maka, apabila manusia terjangkiti kejahatan Ia akan memutuskan memusnahkan dunia karena kejahatan akan hanya menuju kepada kehancuran. Selanjutnya, adanya kenyataan penyelamatan Allah,maksudnya adalah Allah menghukum manusia bukanlah sebagai kata atau tindakan terakhir. Ada satu orang yang mendapat kasih karunia Allah yaitu yang tidak bercela di hadapan Allah. Sehingga setelah berakhirnya air bah maka berakhirlah dunia yang penuh dengan dosa dan muncullah jaman baru  yang didasari oleh janji ilahi. Allah berjanji bahwa Ia akan memberikan kelestarian dan keteraturan yang abadi kepada dunia dan isinya (Kej. 8:21). Sungguh ini adalah suatu dunia jaman baru. Dan manusia harus bertanggung jawab untuk mengelolanya.

3.2 Permasalahan Manusia dengan Alam
3.2.1 Kapitalisme [7]
Semangat kapitalisme yang telah mendarah daging, menjadikan manusia tidak lagi memikirkan kondisi lingkungan. Kapitalisme telah menjadi cara sebagian besar kehidupan umat manusia dan mengiringi setiap manusia yang tak luput dari masalah-masalah keduniaan. Tidak dapat dipungkiri, manjadi orang kapitalis sampai saat ini masih terus bertambah hingga tidak terhitung jumlahnya. Semangat kapitalisme yang telah mendarah daging, menjadikan manusia tidak lagi memikirkan kondisi lingkungannya yang semakin terancam. Keinginan untuk menjadi kaya diwujudkan dengan mengeksploitasi alam secara besar-besaran. Merambah hutan, mendirikan pabrik, memproduksi kendaraan secara besar-besaran (yang tentu menjadikan pemakaian bahan bakar yang banyak), dll.[8]Karena semangat kapitalisme inilah manusia menjadi perusak alam yang menjadi tumpuan dan harapan akan adanya jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia.

3.2.2 Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk turut mempengaruhi terjadinya krisis ekologi saat ini. Pengrusakan lingkungan hidup sangat berkaitan erat dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Jumlah penduduk dunia kian hari kian bertambah banyak. Diperkirakan sumber daya alam tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup lebih dari 6 milyar jiwa penduduk bumi. Penduduk beberapa kota besar di dunia ini sekarang sudah mengkuatirkan ketersediaan air minum dan persediaan energi.[9] Pertambahan jumlah penduduk juga telah menyebabkan manusia untuk berusaha bertahan hidup dengan segala upaya. Setiap orang demi kebutuhan hidupnya harus menggunakan persediaan sumber daya alam yang ada. Banyak yang dulunya adalah hutan tropis kemudian digantikan menjadi lingkungan perkotaan, pemukiman, lokasi industri dan tempat rekreasi. Ini sangat mengancam keberadaan bumi ini. Kalau seluruh penduduk bumi ingin hidup baik, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin terjadi yaitu mengurangi jumlah penduduk global 87,5% atau menemukan delapan bumi baru[10].

3.2.3 Pembangunan
Pembangunan yang keliru dapat dikatakan merupakan penyebab pertama terjadinya krisis ekologi. Hal ini terjadi karena pembangunan selalu membutuhkan energi yang sangat besar, misalnya pembangunan industri dan pembangunan infrastruktur. Tanpa memikirkan sumber daya alam yang akan habis oleh pembangunan tersebut. Industri sangat membutuhkan bahan mentah dan bahan bakar yang banyak. Hal tersebut secara nyata telah menyebabkan berkurangnya sumber daya alam yang ada.[11]
Industri-industri besar akan banyak menghasilkan limbah yang menyebabkan tanah akan keracunan, polusi udara bahkan polusi suara. Demikian juga bertambahnya jumlah penduduk akan menyebabkan bertambahnya limbah rumah tangga, berupa sampah organik dan sampah anorganik. Dan tentunya semua itu akan mempercepat kerusakan alam ini.

3.3 Etika Ekologis Kristen
Manusia bagian dari alam, dalam artian bahwa manusia juga mempunyai peran serta dalam proses-proses biologis dan fisiologis seperti mahluk hidup lainnya. Namun manusia juga terpisah dari alam karena manusia memiliki kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara sadar tentang cara merubah alam ini. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana manusia memandang alam itu sebagai sumber daya untuk dikelola bagi kehidupan manusia itu. Dalam pendekatan etis kekristenan, manusia adalah segambar dengan Allah, di mana manusia memiliki hubungan yang khusus dengan Allah dibanding dengan ciptaan yang lain. Dari hubungan itulah tercipta tanggung jawab yang khusus untuk bertindak sebagai penatalayan dan pelaksana harian pemeliharaan ciptaan.   Jadi manusia diberi mandat untuk memelihara bumi, bukan mandat mengekploitasi.[12]
            Alam dan manusia adalah satu paket dalam hubungan dengan perjanjian Allah. Bumi adalah bagian dari alam semesta tempat bermukim manusia. Dengan demikian barang siapa yang merusak alam berarti ia merusak hubungan perjanjian itu. Disamping itu, pengerusakan alam akan mendatangkan kerusakan hidup umat manusia. Dalam kaitan ini, umat manusia tidak punya keistimewaan dengan ciptaan lainnya. Disitulah adanya saling ketergantungan di dalam komunitas manusia dengan alam semesta, yang mana manusia menerima mandat untuk memeliharanya.
            Dalam mandat itu, ada tiga model pertanggungjawaban manusia terhadap ciptaan Alllah, yakni:[13] Pertama, model penatalayanan, yaitu menuntut manusia bertindak sebagai penatalayan dalam hidup berlingkungan hidup. Oleh karena itu, manusia selaku penghuni bumi mengemban pertanggungjawaban memelihara alam semesta. Kedua, model persahabatan, yaitu adanya kesadaran bahwa bumi ini bukan hanya sebuah benda yang tak bermakna, melainkan sebuah tempat yang dipilih Allah untuk menjadi habitat khusus umat manusia. Bumi ini juga merupakan bagian yang dikasihi Allah (Yoh. 3:16), maka manusia menjadi partner Kristus dalam memelihara dan memperbaharui bumi ini. Dan yang ketiga, model kekeluargaan, yaitu kesadaran bahwa umat manusia sekarang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan generasi yang sebelumnya dan yang sesudahnya, oleh sebab itu manusia sekarang adalah yang menjadi pewaris bumi ini kepada generasi selanjutnya.
Karena itu, manusia tidak boleh hanya peduli pada dirinya sendiri, melainkan juga pada bagian-bagian lain dari dunia ini, yakni seluruh mahkluk hidup  dan  benda-benda mati di seluruh alam.[14]   Dengan begitu manusia dalam hal ini menjaga dan memelihara alam bukan demi kepentingannya sendiri tetapi kerena martabatnya sebagai mahkluk ciptaan Allah yang bertanggungjawab untuk menjaga alam.[15]

3.4 Peran Gereja Yang Ekumene
Peranan gereja yang terpenting berhubungan dengan lingkungan alam dan pertumbuhan adalah menolong orang-orang mencari patokan untuk menilai kemajuan. Banyak mata orang tersilau oleh kemegahan dunia modern. Mereka diombang-ambingkan oleh arus yang kurang mengerti. Dalam hal ini gereja perlu menolong mereka mengerti dan bila perlu menentang arus itu.[16]
Gereja selaku persekutuan orang percaya tidak hanya bertanggung jawab untuk mewujudkan persekutuan di antara sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan. Selama ini ekumene hanya dimengerti sebagai hubungan interdenominasi gereja, padahal arti kata oikos menunjuk pada bumi atau dunia sebagai tempat tinggal. Habitat adalah inti makna dari semua kata eko; ekonomi, ekologi, dan ekumenesitas.
Oleh karena itu, tujuan ekumene tidak bisa lagi terbatas pada usaha pembentukan Gereja Kristen yang Esa atau menciptakan hubungan yang harmonis di antara orang Kristen, tetapi harus menjangkau wawasan yang lebih luas, sesuai dengan arti dan makna yang terkandung dalam kata ekumene, yaitu dunia atau kosmos ini secara keseluruhan, khususnya hubungan dengan seluruh ciptaan. Kita perlu membedakan antara kataecumenical dan kata ecumenic, yang akar katanya sama yaitu oikos, tetapi maknanya berbeda. Kalau ecumenical berbicara tentang kesatuan iman, maka ecumenic berbicara tentang kesatuan manusia dengan segala sesuatu yaitu dengan semua realitas ciptaan Allah. Akan tetapi, keduanya mempunyai hubungan sebab kesatuan iman harus mempunyai implikasi terhadap kesatuan dengan seluruh ciptaan. Intinya harus dipahami bahwa ciptaan adalah tempat kehadiran Allah. Jadi, gereja ekumene (berasal dari oikos) menunjuk pada rumah tempat kehadiran dan kediaman Allah, maka sebagai jemaat gereja harus sejalan dengan Allah. Jemaat gereja adalah rekan sekerja Allah dalam menatalayani dunia.

3.5 “Selamatkan Bumi Demi Generasi Sekarang Dan Mendatang”[17]
Bumi ini adalah anugrah bagi manusia, dan akan menjadi warisan kepada manusia generasi mendatang. Bagi manusia, tak seorang pun yang ingin mewariskan harta bendanya kepada keturunannya dalam keadaan rusak. Demikianlah halnya dengan bumi ini yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Harapan akan kelestarian alam harus dipersiapkan dan diwujudkan semaksimal mungkin untuk kehidupan yang berkelanjutan dan berdamai sejahtera. Tanggung jawab itu adalah menjaga keutuhan segala ciptaan dan mengembalikannya agar seluruh ciptaan itu tidak bercacat sebagaimana diwariskan Allah kepada umat manusia. Oleh sebab itu, semua insan jangan hanya berorientasi kepada prestasinya saja tanpa mempedulikan tindakannya apakah sudah merusak alam atau tidak.
            Kesadaran akan kerusakan bumi dan memperbaikinya akan menjadi warisan yang baik bagi generasi yang akan datang. Dengan menyelamatkan bumi ini, akan semakin memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan menjalankan mandat yang diberikan Allah.[18]

IV. Refleksi[19]
Dalam hal ini peran gereja mendapat tempat penting, karena gereja merupakan bagian dari dunia. Sebagai bagian dari dunia, maka gereja terpanggil untuk terlibat aktif dalam kesatuan dengan bagian-bagian lain dari dunia.
Jika keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus dipahami sebagai keselamatan untuk seluruh ciptaan, maka gereja terpanggil tidak hanya untuk menyatakan pelayanan dengan sesamanya manusia, tetapi juga dengan sesama ciptaan. Gereja harus melaksanakan pendamaian dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah. Sejalan dengan hal ini, Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) memahami pendamaian dan pembaruan ciptaan sebagai tujuan dari misi gereja.[20]
Sejak tahun 1968 dalam Sidang Raya IV DGD di Upsala, Swedia, DGD membahas perhatian dan tanggung jawab gereja-gereja terhadap lingkungan hidup. Sedangkan, di Indonesia sendiri, baru dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989, dikukuhkan secara eksklusif pengertian pemberitaan Injil yang mencakup usaha pelestarian lingkungan hidup. Selain sebagai bagian dari tugas pemberitaan Injil, tugas pengelolaan dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu dasar bagi gereja-gereja di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Bagi gereja-gereja di Indonesia, terdapat suatu permasalahan tersendiri dalam usahanya untuk menjadi penatalayan dunia. Pertama, gereja-gereja di Indonesia masih terkotak-kotakan dalam berbagai denominasi, di mana masing-masing denominasi memiliki concern tersendiri. Kedua, konsep ecumenic sendiri belum begitu populer di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk lebih menggugah kesadaran gereja-gereja di Indonesia akan perannya menjadi penatalayan dunia melalui berbagai cara, misal: diskusi teologis.
Diskusi yang perlu dikembangkan adalah sebuah etika bagi komunitas bumi (mencakup semua yang ada, baik yang hidup maupun tidak), karena masalah ekologi umumnya terkait dengan pandangan etis. Etika ini berdasarkan pada pernyataan sederhana bahwa "semua yang ada, ada bersama”. Ibarat tubuh, apabila kita tidak memelihara kesehatan tubuh kita, misalnya dengan istirahat yang teratur dan makan, minum yang baik, maka lama-kelamaan kita akan sakit. Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh bagian tubuh tertentu, tetapi juga oleh seluruh tubuh. Oleh karena itu, manusia sebagai ciptaan yang berakal budi sudah seharusnya lebih arif dalam menatalayani dunia ini. Di sinilah peran gereja ditantang. Apakah ia berani menjadi nabi yang memperingatkan para pemimpin (di dunia) dalam menentukan kebijakannya, ataukah justru ia kehilangan peran kenabiannya.

V. Kesimpulan
Manusia dan alam memiliki keterikatan yang erat dalam hubungan dengan Allah dan Allah memberi mandat kepada manusia untuk bertanggungjawab atas kelangsungan dan kelestarian alam.




[1] B. T. Simarmata, Diktat Etika II, STT-HKBP, Pematangsiantar, 2008, hal. 2.
[2] Louis Leahy, Siapakah Manusia, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 182-185.
[3] GKPS, Ekologi, http://www.gkps.or.id/organisasi/142-ekologi.html, 30 November 1999, dikunjungi: 17 Oktober 2009.
[4] GKI, Gereja & Lingkungan Hiduphttp://suplemengki.com/?p=156, 03 Februari 2008,  dikunjungi: 17 Oktober 2009.
[5] William A. Dyrness, Agar Bumi Bersuka Cita, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 26.
[6] R. A. Jaffray, Tafsir Kitab Kejadian, Kalam Hidup, Makasar, hal. 96-99.
[7] Muhibin AM, Jendela Ekologi,
[8] Gatot Susanta & Hari Sutjahjo (Peny), Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global, Penebar Plus, Jakarta, 2007. hal. 32.
[9] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-Hari Bagi Warga Gereja, L-SAPA STT-HKBP, Pematangsiantar, 2007, hal. 132.
[10] Victor Tinambunan, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah, L-SAPA STT HKBP, Pematangsiantar, 2006, hal. 54.
[11] Ibid, hal. 55.
[12] Celia Deane & Drummond, Teologi dan Ekologi, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1999, hal. 81.
[13] Binsar Nainggolan, Op.Cit, hal. 133-136.
[14] Manusia dan alam merupakan bagian dari perjanjian Allah, artinya manusia dan alam merupakan bagian dari tujuan penyelamatan Allah sebagaimana yang terdapat di dalam Markus 16:15. Injil yang merupakan berita keselamatan bukan hanya diberikan kepada manusia saja tetapi juga untuk seluruh ciptaan Allah dan termasuklah di dalamnya alam.
[15] Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Yogjakarta, Kanisius, 2006, hal. 51.
[16] Malcolm Brownlee, Keterlibatan Dan Kewibawaan Manusia Dalam Lingkungan Alam, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1982, hal. 26-27.
[17] Reinjustin Gultom, Manusia dan Lingkungan Hidup dalam: Nekson M. Simanjuntak dkk.(ed.), Pelayanan yang memperlengkapi Jemaat, PGI Sumatera Utara, Medan, 2009, hal. 345-347.
[18] Lihat VISI MISI DAN KOMITMEN JPIC (Justice, Peace and Integration of Creation),http://www.svdjawa.org/jpic.htm, dikunjungi tgl. 31 Oktober 2009. JPIC adalah merupakan organisasi yang melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan mencoba untuk memperbaiki keadaan alam yang mulai rusak. Ini adalah tindakan yang harus didukung dan perlu ditiru dan dilakukan oleh yang lainnya.
[19] Sekaligus sebagai pandangan pembanding untuk dijadikan sebagai saran.
[20] Robert. P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 2003, hal. 255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar