Kamis, 21 Juli 2016

Pandangan Orang Batak dalam Masalah Ekologi

    I.    Pendahuluan
Seperti mata rantai yang terjalin hubungan, dan tak terputuskan satu dengan yang lain, demikianlah hubungan manusia dengan alam. Manusia dan alam berintegrasi korelatif, saling tergantung dan saling membutuhkan. Namun ada ketimpangan yang terjadi, dalam integrasi tersebut manusia melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap alam, yang berakibat kepada rusaknya alam itu. Apakah itu disadari atau tidak, yang jelas manusia harus segera memperbaiki kembali hubungan integrasi itu dengan sikap etis yang bertanggungjawab.
Bangsa Batak merupakan bagian terstruktur dari penciptaan Allah sebagaimana tertulis dalam Kitab Kejadian 1:1. Itu berarti bahwa Allah sudah berada di Tanah Batak, sebelum manusia hidup. Ini menandakan bahwa Tuhan sudah berada di Tanah Batak sebelum Kekristenan masuk ke Tanah Batak. Allah tidak pernah melakukan perpindahan tangan terhadap Tanah Batak kepada siapapun. Dari sudut pandang teologi, Tanah Batak berada di bawah kuasa Allah dan Allah tidak pernah meninggalkannya.
Krisis ekologi adalah salah satu masalah yang paling serius dari tingkat lokal hingga global saat ini. Sangat disayangkan, tingkat kesadaran dan upaya untuk mengatasinya masih jauh dari yang diharapkan. Orang Batak secara khusus mendapat tempat pada posisi yang sama dengan sesama manusia di muka bumi dalam proses penghancuran alam.
Kita harus mengakui munculnya usaha-usaha baik dari individu maupun kelompok yang berusaha untuk merawat alam, tetapi usaha yang dilakukan tidak ada dampaknya dibandingkan dengan hebatnya kekerasan bahkan perampasan yang dilakukan di tanah kita sendiri. Orang-orang Kristen dan gereja merasa terpanggil untuk menghormati Allah dalam rangka mengasihi dan memelihara ciptaan-Nya di dunia ini.

    II.            Isi
Sebelum agama Kristen masuk, orang-orang Batak mempunyai sikap tertentu terhadap alam sekitar termasuk terhadap pohon yang kalau kita telusuri sebenarnya berakar dari tradisi yang lebih tua yang dipelihara secara turun-temurun sejak zaman kuno. Masyarakat tradisional tidak hanya di Tanah Batak tetapi hampir di seluruh dunia menghormati alam sekitar mereka bahkan setara dengan diri mereka; alam bukan objek.
Para misionaris dan orang-orang Batak yang menjadi Kristen telah salah membaca kearifan nenek moyang (komunitas Batak pra-Kristen) berkaitan dengan bagaimana komunitas ini berinteraksi dengan alam sekitar mereka. Cara komunitas ini berinteraksi dengan alam sekitar, yang kalau kita simpulkan sebenarnya adalah sebuah dialog yang terus-menerus seirama dengan musim-musim yang berlangsung setiap tahunnya. Itu sebab ada ritus tertentu sebelum menanam benih di ladang atau sawah. Para misionaris dan orang-orang Batak yang sudah masuk Kristen melihat dan memahami cara-cara itu sebagai tindakan pagan atau kafir yang layak dimusnahkan.
Teologi para misionaris menegaskan: hanya Allah melalui Tuhan Yesus Kristus satu-satunya yang berkuasa; tidak ada kuasa di dalam sebuah pohon termasuk pohon yang sangat besar. Para misionaris terdahulu itu tidak mengerti bahwa orang-orang Batak kala itu sebenarnya tidak menyembah pohon tetapi Debata Mula Jadi na Bolon yang kalau kita terjemahkan ya berarti Allah. Pohon-pohon besar yang rindang dan dianggap suci pada masa itu berfungsi sebagai tempat ibadah seperti gereja pada masa sekarang bagi orang-orang Kristen.
Orang-orang Kristen yang datang ke gereja tentu tidak menyembah gedung gereja tetapi Allah yang mereka percayai. Sama halnya dengan masyakarat tradisional di Tanah Batak dan di berbagai penjuru bumi; mereka berkumpul dan melakukan ritual di tempat-tempat tertentu termasuk di bawah rindang dan teduhnya pohon bukan dalam rangka menyembah pohon itu tetapi menyembah Allah yang mereka percayai.
Orang-orang Kristen lebih banyak terpenjara dalam keyakinan mereka yang sempit; mengira bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agama Kristen. Konsekuensinya: satu-satunya pandangan yang benar adalah pandangan Kristen. Dalam konteks tertentu, satu-satunya yang benar adalah apa yang keluar dari pikiran dan mulut orang-orang yang telah menjadi Kristen. Ini antara lain yang terjadi di Tanah Batak sejak masuknya Kekristenan: silahkan tebang pohon-pohon besar itu di mana para leluhur biasa berkumpul entah untuk bermusyawarah atau melakukan ritus keagamaan mereka. Pohon itu kafir demikian juga orang-orang yang berada di sana. Kristenkan mereka agar mereka tidak lagi kafir. Buktikan bahwa tidak ada kuasa tuhan mereka itu. Tebang pohon-pohon itu dan tidak akan terjadi sesuatu apapun.
Para misionaris juga senang melebih-lebihkan berita ke lembaga misi yang mengirimkan mereka ke negeri yang mereka sebut negeri-kafir, negeri yang belum mengenal Kristus. Orang-orang Kristen Eropa pada abad ke-19 percaya bahwa kehidupan penduduk di negeri-negeri yang belum menerima Kristus seperti di Tanah Batak sungguh mengenaskan dan sarat dengan apa yang mereka sebut kuasa-gelap. Agama tradisional Batak mereka anggap juga sebagai kuasa gelap. Mereka merasa hebat bisa mendirikan rumah mereka di tempat-tempat yang mereka laporkan ke badan misi sebagai tempat-tempat yang angker di Tanah Batak dan mereka tidak apa-apa yang membuktikan pada penduduk pribumi bahwa tidak ada kuasa dari yang disembah oleh penduduk pribumi itu.
Pada tahun 1877, IL Nommensen menjadi pemandu (dan juga penerjemah) bagi para serdadu Belanda yang melakukan ekspedisi di Tanah Batak. Dalam ekspedisi ini, para serdadu membakar banyak desa yang tidak mau tunduk pada pemerintah; memaksa para pemimpin desa yang takluk untuk membayar denda terhadap pemerintah kolonial pada masa itu. Ekspedisi berlangsung selama berbulan-bulan. Di pihak Belanda ini ekspedisi tetapi di pihak Batak, ini merupakan perang sehingga peristiwa ini umum kita sebut sebagai Perang Toba.
Ketika IL Nommensen bersama dengan Residen dan para serdadu tiba di Balige pada tahun 1877 itu, mereka begitu terpesona melihat keindahan alam sekitar. Pada tengah hari karena panas, para serdadu terjun ke danau. Itulah pertama kali mereka menginjakkan kaki di dalam danau. Menurut laporan Nommensen, banyak di antara para serdadu itu yang mengungkapkan rasa jengkelnya: mengapa bangsa kafir yang keji itu (bangsa Batak maksudnya), memiliki bagian dunia yang begitu indah.
Di Tanah Batak, kecuali kemarau sepanjang tahun, pepohonan akan tetap berdaun. Pada masa awal kedatangan para misionaris itu, polusi udara bahkan tanah maupun air sangat kecil. Kehidupan dan pola hidup manusia masih tergolong alami, organik. Hutam masih alami. Alam begitu indah apalagi yang berada dekat atau di seputar Danau Toba. Tentu saja berbeda dengan Eropa negeri para misionaris apalagi di musim dingin di mana cuaca begitu tidak bersahabat, pada manusia dan hewan termasuk tumbuhan. Pohon-pohon (kecuali evergreen, semacam cemara) telanjang tak berdaun sama sekali di musim dingin.
Sekarang kita mulai gembar-gembor untuk mengais-ngais apa yang kita sebut kearifan lokal. Kita merasa perlu untuk menemukannya sebab samar-samar kita tahu bahwa para pendahulu kita punya cara tertentu berinteraksi dengan alam termasuk di Tanah Batak. Kita mulai mempertanyakan keabsahan pandangan-pandangan dominan yang punya potensi besar untuk menindas dan memaksa pandangan yang berbeda untuk minggir. Bila perlu tidak hanya minggir, para pemilik pandangan dominan yang disokong oleh agama dominan dan kapitalisme (pemerintah kolonial, tuan-tuan kebon dan pengusaha) bisa menguburkan apa saja yang mereka anggap menghalangi langkah-tamak mereka, bila perlu hidup-hidup juga tak apa-apa.[1]
Para orang tua di pedesaan dulu biasa mengajarkan kepada anak-anak mereka agar kalau mau, maaf, kencing di talun (wilayah) orang lain atau di luar kampung, di padang penggembalaan misalnya, permisi dulu terhadap penghuni talun itu. Masyarakat tradisional akrab dengan mitologi dan itu sebuah kearifan kolektif yang menjaga tatanan dan keseimbangan kosmos baik yang makro maupun mikro. Belakangan, kita terasing dari kearifan-kearifan macam itu karena kita membacanya secara harafiah. Orang lalu berpikir: kalau mau kencing, ya sudah kencing saja! Konsekuensinya, manusia tak lagi hormat pada alam. Inti dari kearifan tradisional itu antara lain adalah menegakkan rasa hormat terhadap alam sebab alam merupakan sumber penghidupan yang berkelanjutan dan mutlak.
Dalam perkembangan selanjutnya, berlangsung akumulasi terus-menerus di mana manusia semakin tidak hormat pada alam, pada bumi di mana mereka tinggal dan hidup. Anak-anak bahkan orang dewasa tidak lagi merasa bersalah untuk kencing sembarangan, buang sampah sembarangan. Tak lagi punya perasaan terhadap sampah-sampah plastik dan sampah lainnya yang mereka produksi setiap hari. Manusia semakin terpisah dari alam walau kaki mereka menginjak bumi saban waktu. Alam menjadi objek eksploitasi semata.
Masyarakat tradisional tidak boleh buang sampah sembarangan sebab komunitas mengajarkan itu tindakan terlarang yang akan memicu kemarahan penghuni alam di masa sampah itu dibuang. Akan ada konsekuensi bagi pelaku. Intinya sama dengan konsep modern bahwa sampah akan menimbulkan bencana sebab mengganggu keseimbangan alam, merusak sebab menjadi polutan terhadap udara, tanah dan air. Kita di zaman ini melihat alam yang rusak dan terpolusi terlebih dahulu oleh sampah baru sadar bahwa sampah menimbulkan masalah dan bencana. Masyarakat tradisional pra Kristen misalnya, sudah mampu menciptakan sebuah kearifan yang melindungi alam yang dalam waktu yang sama berarti melindungi diri mereka sendiri sebab mereka juga adalah merupakan bagian dari alam.
Kenaifan manusia modern yang dipertegas oleh Kekristenan adalah menganggap dirinya bukan bagian dari alam tapi pemilik alam. Sebagai pemilik maka manusia mengembangkan sikap memiliki, indentik dengan mengeksploitasi. Gereja diam-diam saja dengan perambahan hutan yang terus berlangsung. Hampir 80% daratan Sumatra telah menjadi lahan perkebunan mono-kultur yang melibas habis kakayaan flora dan fauna yang sangat berharga demi memenuhi sikap memiliki itu.
Gereja-gereja baik yang Protestan maupun yang Katolik bahkan ikut-ikutan membuka ratusan  hektar lahan untuk perkebunan monokultur, sebuah tindakan bunuh-diri jangka panjang dan sebuah penghinaan terhadap generasi-generasi yang akan datang sebab mereka tak akan lagi dapat melihat kekayaan flora dan fauna yang sejak awal Tuhan berikan pada manusia kecuali mungkin dalam buku dan gambar.

 III.            Analisa Teologis Hubungan Alam dengan Manusia
Pada kitab Kejadian dengan jelas diterangkan cerita tentang penciptaan langit dan bumi. Pada hari pertama Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya (Kej. 1:1). Dunia yang diciptakan oleh Allah dan Allah tetap melihatnya – enam kali diulang (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21 dan 25) dan menyatakan dengan sederhana: “Semuanya baik”. Ungkapan itu jelas menunjukkan bahwa Allah menikmati ciptaan tersebut. Kata “baik” dalam bahasa Ibrani mempunyai arti yang lebih luas dari pada sekedar masalah etika, tetapi mencakup estetika. Kata “baik” ini juga berarti menggemakan sukacita yang menyertai karya ciptaan Allah.[2]  Dengan melihat bahwa ternyata dunia tempat tinggal manusia itu pada awalnya adalah baik diciptakan oleh Allah, namun ternyata dunia yang baik itu telah rusak dan tercemar oleh karena pelanggaran manusia terhadap kehendak Allah. Oleh sebab itu, patutlah jika disuratkan bahwa Tuhan bersesal, sebab manusia mendukacitakan hatiNya. Apakah yang menjadi keputusan atas “sesal” itu? Air bah adalah jawabnya. Artinya dalam “sesal” itu ada tindakan Allah untuk memperbaikinya kembali. Bumi yang dibanjiri oleh dosa membuat Allah murka dan kemudian karena dosa itu maka bumi dibanjiri air selama 40 hari sampai binasa. Akan tetapi dalam murka Allah ada anugerahNya, yaitu dengan penyelamatan Nuh terlebih dahulu untuk memisahkannya dari orang-orang lain yang akan binasa itu.[3]
Dengan melihat apa yang terjadi dalam masa Nuh itu, sebenarnya menyimpan maksud untuk menonjolkan pokok-pokok dasar Iman Israel yaitu: adanya kenyataan hukuman, dimana Allah memberikan perhatian yang besar kepada manusia. Maka, apabila manusia terjangkiti kejahatan Ia akan memutuskan memusnahkan dunia karena kejahatan akan hanya menuju kepada kehancuran. Selanjutnya, adanya kenyataan penyelamatan Allah,maksudnya adalah Allah menghukum manusia bukanlah sebagai kata atau tindakan terakhir. Ada satu orang yang mendapat kasih karunia Allah yaitu yang tidak bercela di hadapan Allah. Sehingga setelah berakhirnya air bah maka berakhirlah dunia yang penuh dengan dosa dan muncullah jaman baru  yang didasari oleh janji ilahi. Allah berjanji bahwa Ia akan memberikan kelestarian dan keteraturan yang abadi kepada dunia dan isinya (Kej. 8:21). Sungguh ini adalah suatu dunia jaman baru. Dan manusia harus bertanggung jawab untuk mengelolanya.

 IV.            Etika Ekologi Kristen
Manusia bagian dari alam, dalam artian bahwa manusia juga mempunyai peran serta dalam proses-proses biologis dan fisiologis seperti mahluk hidup lainnya. Namun manusia juga terpisah dari alam karena manusia memiliki kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara sadar tentang cara merubah alam ini. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana manusia memandang alam itu sebagai sumber daya untuk dikelola bagi kehidupan manusia itu. Dalam pendekatan etis kekristenan, manusia adalah segambar dengan Allah, di mana manusia memiliki hubungan yang khusus dengan Allah dibanding dengan ciptaan yang lain. Dari hubungan itulah tercipta tanggung jawab yang khusus untuk bertindak sebagai penatalayan dan pelaksana harian pemeliharaan ciptaan.   Jadi manusia diberi mandat untuk memelihara bumi, bukan mandat mengekploitasi.[4]
Alam dan manusia adalah satu paket dalam hubungan dengan perjanjian Allah. Bumi adalah bagian dari alam semesta tempat bermukim manusia. Dengan demikian barang siapa yang merusak alam berarti ia merusak hubungan perjanjian itu. Disamping itu, pengerusakan alam akan mendatangkan kerusakan hidup umat manusia. Dalam kaitan ini, umat manusia tidak punya keistimewaan dengan ciptaan lainnya. Disitulah adanya saling ketergantungan di dalam komunitas manusia dengan alam semesta, yang mana manusia menerima mandat untuk memeliharanya.
Dalam mandat itu, ada tiga model pertanggungjawaban manusia terhadap ciptaan Alllah, yakni:[5] Pertama, model penatalayanan, yaitu menuntut manusia bertindak sebagai penatalayan dalam hidup berlingkungan hidup. Oleh karena itu, manusia selaku penghuni bumi mengemban pertanggungjawaban memelihara alam semesta. Kedua, model persahabatan, yaitu adanya kesadaran bahwa bumi ini bukan hanya sebuah benda yang tak bermakna, melainkan sebuah tempat yang dipilih Allah untuk menjadi habitat khusus umat manusia. Bumi ini juga merupakan bagian yang dikasihi Allah (Yoh. 3:16), maka manusia menjadi partner Kristus dalam memelihara dan memperbaharui bumi ini. Dan yang ketiga, model kekeluargaan, yaitu kesadaran bahwa umat manusia sekarang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan generasi yang sebelumnya dan yang sesudahnya, oleh sebab itu manusia sekarang adalah yang menjadi pewaris bumi ini kepada generasi selanjutnya.
Karena itu, manusia tidak boleh hanya peduli pada dirinya sendiri, melainkan juga pada bagian-bagian lain dari dunia ini, yakni seluruh mahkluk hidup  dan  benda-benda mati di seluruh alam.[6]   Dengan begitu manusia dalam hal ini menjaga dan memelihara alam bukan demi kepentingannya sendiri tetapi kerena martabatnya sebagai mahkluk ciptaan Allah yang bertanggungjawab untuk menjaga alam.[7]

  Peran Gereja yang Ekumenis
Peranan gereja yang terpenting berhubungan dengan lingkungan alam dan pertumbuhan adalah menolong orang-orang mencari patokan untuk menilai kemajuan. Banyak mata orang tersilau oleh kemegahan dunia modern. Mereka diombang-ambingkan oleh arus yang kurang mengerti. Dalam hal ini gereja perlu menolong mereka mengerti dan bila perlu menentang arus itu.[8]
Gereja selaku persekutuan orang percaya tidak hanya bertanggung jawab untuk mewujudkan persekutuan di antara sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan. Selama ini ekumene hanya dimengerti sebagai hubungan interdenominasi gereja, padahal arti kata oikos menunjuk pada bumi atau dunia sebagai tempat tinggal. Habitat adalah inti makna dari semua kata eko; ekonomi, ekologi, dan ekumenesitas.
Oleh karena itu, tujuan ekumene tidak bisa lagi terbatas pada usaha pembentukan Gereja Kristen yang Esa atau menciptakan hubungan yang harmonis di antara orang Kristen, tetapi harus menjangkau wawasan yang lebih luas, sesuai dengan arti dan makna yang terkandung dalam kata ekumene, yaitu dunia atau kosmos ini secara keseluruhan, khususnya hubungan dengan seluruh ciptaan. Kita perlu membedakan antara kata ecumenical dan kata ecumenic, yang akar katanya sama yaitu oikos, tetapi maknanya berbeda. Kalau ecumenical berbicara tentang kesatuan iman, maka ecumenic berbicara tentang kesatuan manusia dengan segala sesuatu yaitu dengan semua realitas ciptaan Allah. Akan tetapi, keduanya mempunyai hubungan sebab kesatuan iman harus mempunyai implikasi terhadap kesatuan dengan seluruh ciptaan. Intinya harus dipahami bahwa ciptaan adalah tempat kehadiran Allah. Jadi, gereja ekumene (berasal dari oikos) menunjuk pada rumah tempat kehadiran dan kediaman Allah, maka sebagai jemaat gereja harus sejalan dengan Allah. Jemaat gereja adalah rekan sekerja Allah dalam menatalayani dunia.

 VI.            “Selamatkan Bumi untuk Generasi Sekarang dan Masa Mendatang”[9]
Bumi ini adalah anugrah bagi manusia, dan akan menjadi warisan kepada manusia generasi mendatang. Bagi manusia, tak seorang pun yang ingin mewariskan harta bendanya kepada keturunannya dalam keadaan rusak. Demikianlah halnya dengan bumi ini yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Harapan akan kelestarian alam harus dipersiapkan dan diwujudkan semaksimal mungkin untuk kehidupan yang berkelanjutan dan berdamai sejahtera. Tanggung jawab itu adalah menjaga keutuhan segala ciptaan dan mengembalikannya agar seluruh ciptaan itu tidak bercacat sebagaimana diwariskan Allah kepada umat manusia. Oleh sebab itu, semua insan jangan hanya berorientasi kepada prestasinya saja tanpa mempedulikan tindakannya apakah sudah merusak alam atau tidak.
Kesadaran akan kerusakan bumi dan memperbaikinya akan menjadi warisan yang baik bagi generasi yang akan datang. Dengan menyelamatkan bumi ini, akan semakin memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan menjalankan mandat yang diberikan Allah.[10]

VII.            Refleksi[11]
Dalam hal ini peran gereja mendapat tempat penting, karena gereja merupakan bagian dari dunia. Sebagai bagian dari dunia, maka gereja terpanggil untuk terlibat aktif dalam kesatuan dengan bagian-bagian lain dari dunia.
Jika keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus dipahami sebagai keselamatan untuk seluruh ciptaan, maka gereja terpanggil tidak hanya untuk menyatakan pelayanan dengan sesamanya manusia, tetapi juga dengan sesama ciptaan. Gereja harus melaksanakan pendamaian dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah. Sejalan dengan hal ini, Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) memahami pendamaian dan pembaruan ciptaan sebagai tujuan dari misi gereja.[12]
 Sejak tahun 1968 dalam Sidang Raya IV DGD di Upsala, Swedia, DGD membahas perhatian dan tanggung jawab gereja-gereja terhadap lingkungan hidup. Sedangkan, di Indonesia sendiri, baru dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989, dikukuhkan secara eksklusif pengertian pemberitaan Injil yang mencakup usaha pelestarian lingkungan hidup. Selain sebagai bagian dari tugas pemberitaan Injil, tugas pengelolaan dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu dasar bagi gereja-gereja di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Bagi gereja-gereja di Indonesia, terdapat suatu permasalahan tersendiri dalam usahanya untuk menjadi penatalayan dunia. Pertama, gereja-gereja di Indonesia masih terkotak-kotakan dalam berbagai denominasi, di mana masing-masing denominasi memiliki concern tersendiri. Kedua, konsep ecumenic sendiri belum begitu populer di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk lebih menggugah kesadaran gereja-gereja di Indonesia akan perannya menjadi penatalayan dunia melalui berbagai cara, misal: diskusi teologis.
Diskusi yang perlu dikembangkan adalah sebuah etika bagi komunitas bumi (mencakup semua yang ada, baik yang hidup maupun tidak), karena masalah ekologi umumnya terkait dengan pandangan etis. Etika ini berdasarkan pada pernyataan sederhana bahwa "semua yang ada, ada bersama”. Ibarat tubuh, apabila kita tidak memelihara kesehatan tubuh kita, misalnya dengan istirahat yang teratur dan makan, minum yang baik, maka lama-kelamaan kita akan sakit. Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh bagian tubuh tertentu, tetapi juga oleh seluruh tubuh. Oleh karena itu, manusia sebagai ciptaan yang berakal budi sudah seharusnya lebih arif dalam menatalayani dunia ini. Di sinilah peran gereja ditantang. Apakah ia berani menjadi nabi yang memperingatkan para pemimpin (di dunia) dalam menentukan kebijakannya, ataukah justru ia kehilangan peran kenabiannya.


VIII.            Kesimpulan
Generasi (muda) sekarang yang peduli pada lingkungan termasuk Danau Toba yang mulai sibuk belakangan ini perlu mengetahui benang merah persoalan mengapa keadaan menjadi seperti sekarang ini kalau kita bicara soal lingkungan. Sikap kita setiap hari penting: bagaimana kita berinteraksi dengan alam sekitar. Adalah naif bicara soal Danau Toba tapi kita menjadi budak konsumerisme. Sistem perekonomian global memaksa kita dengan cara-cara yang halus menjadi hamba konsumerisme; membeli dan membeli terus termasuk hal-hal yang tanpanya kita tidak akan apa-apa. Konsumerisme adalah sebuah pertanda keterpisahan manusia dari alam sekaligus dari sesama dan Tuhan di mana manusia mencari semacam penyatuan dengan barang-barang yang mereka anggap menarik untuk mereka pakai atau makan. Manusia dan alam memiliki keterikatan yang erat dalam hubungan dengan Allah dan Allah memberi mandat kepada manusia untuk bertanggungjawab atas kelangsungan dan kelestarian alam.



[1] https://tanobatak.wordpress.com
[2] William A. Dyrness, Agar Bumi Bersuka Cita, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 26.
[3] R. A. Jaffray, Tafsir Kitab Kejadian, Kalam Hidup, Makasar, hal. 96-99.
[4] Celia Deane & Drummond, Teologi dan Ekologi, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1999, hal. 81.
[5] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-Hari Bagi Warga Gereja, L-SAPA STT-HKBP, Pematangsiantar, 2007, hal. 133-136.
[6] Manusia dan alam merupakan bagian dari perjanjian Allah, artinya manusia dan alam merupakan bagian dari tujuan penyelamatan Allah sebagaimana yang terdapat di dalam Markus 16:15. Injil yang merupakan berita keselamatan bukan hanya diberikan kepada manusia saja tetapi juga untuk seluruh ciptaan Allah dan termasuklah di dalamnya alam.
[7] Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Yogjakarta, Kanisius, 2006, hal. 51.
[8] Malcolm Brownlee, Keterlibatan Dan Kewibawaan Manusia Dalam Lingkungan Alam, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1982, hal. 26-27.
[9] Reinjustin Gultom, Manusia dan Lingkungan Hidup dalam: Nekson M. Simanjuntak dkk.(ed.), Pelayanan yang memperlengkapi Jemaat, PGI Sumatera Utara, Medan, 2009, hal. 345-347.
[10] Lihat VISI MISI DAN KOMITMEN JPIC (Justice, Peace and Integration of Creation) ,http://www.svdjawa.org/jpic.htm, dikunjungi tgl. 31 Oktober 2009. JPIC adalah merupakan organisasi yang melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan mencoba untuk memperbaiki keadaan alam yang mulai rusak. Ini adalah tindakan yang harus didukung dan perlu ditiru dan dilakukan oleh yang lainnya.
[11] Sekaligus sebagai pandangan pembanding untuk dijadikan sebagai saran.
[12] Robert. P. Borrong, Etika Bumi Baru, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 2003, hal. 255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar