I.
Pendahuluan
Seperti
mata rantai yang terjalin hubungan, dan tak terputuskan satu dengan yang lain, demikianlah
hubungan manusia dengan alam. Manusia dan alam berintegrasi korelatif, saling
tergantung dan saling membutuhkan. Namun ada ketimpangan yang terjadi, dalam
integrasi tersebut manusia melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap
alam, yang berakibat kepada rusaknya alam itu. Apakah itu disadari atau tidak,
yang jelas manusia harus segera memperbaiki kembali hubungan integrasi itu
dengan sikap etis yang bertanggungjawab.
Bangsa
Batak merupakan bagian terstruktur dari penciptaan Allah sebagaimana tertulis
dalam Kitab Kejadian 1:1. Itu berarti bahwa Allah sudah berada di Tanah Batak,
sebelum manusia hidup. Ini menandakan bahwa Tuhan sudah berada di Tanah Batak
sebelum Kekristenan masuk ke Tanah Batak. Allah tidak pernah melakukan
perpindahan tangan terhadap Tanah Batak kepada siapapun. Dari sudut pandang
teologi, Tanah Batak berada di bawah kuasa Allah dan Allah tidak pernah
meninggalkannya.
Krisis
ekologi adalah salah satu masalah yang paling serius dari tingkat lokal hingga
global saat ini. Sangat disayangkan, tingkat kesadaran dan upaya untuk
mengatasinya masih jauh dari yang diharapkan. Orang Batak secara khusus
mendapat tempat pada posisi yang sama dengan sesama manusia di muka bumi dalam
proses penghancuran alam.
Kita
harus mengakui munculnya usaha-usaha baik dari individu maupun kelompok yang
berusaha untuk merawat alam, tetapi usaha yang dilakukan tidak ada dampaknya
dibandingkan dengan hebatnya kekerasan bahkan perampasan yang dilakukan di
tanah kita sendiri. Orang-orang Kristen dan gereja merasa terpanggil untuk
menghormati Allah dalam rangka mengasihi dan memelihara ciptaan-Nya di dunia
ini.
II.
Isi
Sebelum agama Kristen
masuk, orang-orang Batak mempunyai sikap tertentu terhadap alam sekitar
termasuk terhadap pohon yang kalau kita telusuri sebenarnya berakar dari
tradisi yang lebih tua yang dipelihara secara turun-temurun sejak zaman kuno.
Masyarakat tradisional tidak hanya di Tanah Batak tetapi hampir di seluruh
dunia menghormati alam sekitar mereka bahkan setara dengan diri mereka; alam bukan
objek.
Para misionaris dan
orang-orang Batak yang menjadi Kristen telah salah membaca kearifan nenek
moyang (komunitas Batak pra-Kristen) berkaitan dengan bagaimana komunitas ini
berinteraksi dengan alam sekitar mereka. Cara komunitas ini berinteraksi dengan
alam sekitar, yang kalau kita simpulkan sebenarnya adalah sebuah dialog yang
terus-menerus seirama dengan musim-musim yang berlangsung setiap tahunnya. Itu
sebab ada ritus tertentu sebelum menanam benih di ladang atau sawah. Para
misionaris dan orang-orang Batak yang sudah masuk Kristen melihat dan memahami
cara-cara itu sebagai tindakan pagan atau kafir yang layak dimusnahkan.
Teologi para misionaris
menegaskan: hanya Allah melalui Tuhan Yesus Kristus satu-satunya yang berkuasa;
tidak ada kuasa di dalam sebuah pohon termasuk pohon yang sangat besar. Para
misionaris terdahulu itu tidak mengerti bahwa orang-orang Batak kala itu
sebenarnya tidak menyembah pohon tetapi Debata Mula Jadi na Bolon yang kalau
kita terjemahkan ya berarti Allah. Pohon-pohon besar yang rindang dan dianggap
suci pada masa itu berfungsi sebagai tempat ibadah seperti gereja pada masa
sekarang bagi orang-orang Kristen.
Orang-orang Kristen yang
datang ke gereja tentu tidak menyembah gedung gereja tetapi Allah yang mereka
percayai. Sama halnya dengan masyakarat tradisional di Tanah Batak dan di
berbagai penjuru bumi; mereka berkumpul dan melakukan ritual di tempat-tempat
tertentu termasuk di bawah rindang dan teduhnya pohon bukan dalam rangka
menyembah pohon itu tetapi menyembah Allah yang mereka percayai.
Orang-orang Kristen
lebih banyak terpenjara dalam keyakinan mereka yang sempit; mengira bahwa
satu-satunya agama yang benar adalah agama Kristen. Konsekuensinya:
satu-satunya pandangan yang benar adalah pandangan Kristen. Dalam konteks
tertentu, satu-satunya yang benar adalah apa yang keluar dari pikiran dan mulut
orang-orang yang telah menjadi Kristen. Ini antara lain yang terjadi di Tanah
Batak sejak masuknya Kekristenan: silahkan tebang pohon-pohon besar itu di mana
para leluhur biasa berkumpul entah untuk bermusyawarah atau melakukan ritus
keagamaan mereka. Pohon itu kafir demikian juga orang-orang yang berada di
sana. Kristenkan mereka agar mereka tidak lagi kafir. Buktikan bahwa tidak ada
kuasa tuhan mereka itu. Tebang pohon-pohon itu dan tidak akan terjadi sesuatu
apapun.
Para misionaris juga
senang melebih-lebihkan berita ke lembaga misi yang mengirimkan mereka ke
negeri yang mereka sebut negeri-kafir, negeri yang belum mengenal Kristus.
Orang-orang Kristen Eropa pada abad ke-19 percaya bahwa kehidupan penduduk di
negeri-negeri yang belum menerima Kristus seperti di Tanah Batak sungguh
mengenaskan dan sarat dengan apa yang mereka sebut kuasa-gelap. Agama
tradisional Batak mereka anggap juga sebagai kuasa gelap. Mereka merasa hebat
bisa mendirikan rumah mereka di tempat-tempat yang mereka laporkan ke badan
misi sebagai tempat-tempat yang angker di Tanah Batak dan mereka tidak apa-apa
yang membuktikan pada penduduk pribumi bahwa tidak ada kuasa dari yang disembah
oleh penduduk pribumi itu.
Pada tahun 1877, IL Nommensen menjadi pemandu (dan juga penerjemah) bagi
para serdadu Belanda yang melakukan ekspedisi di Tanah Batak. Dalam ekspedisi
ini, para serdadu membakar banyak desa yang tidak mau tunduk pada pemerintah;
memaksa para pemimpin desa yang takluk untuk membayar denda terhadap pemerintah
kolonial pada masa itu. Ekspedisi berlangsung selama berbulan-bulan. Di pihak
Belanda ini ekspedisi tetapi di pihak Batak, ini merupakan perang sehingga
peristiwa ini umum kita sebut sebagai Perang Toba.
Ketika IL Nommensen bersama dengan Residen dan para serdadu
tiba di Balige pada tahun 1877 itu, mereka begitu terpesona melihat keindahan
alam sekitar. Pada tengah hari karena panas, para serdadu terjun ke danau.
Itulah pertama kali mereka menginjakkan kaki di dalam danau. Menurut
laporan Nommensen, banyak di antara para serdadu itu yang
mengungkapkan rasa jengkelnya: mengapa bangsa kafir yang keji itu (bangsa Batak
maksudnya), memiliki bagian dunia yang begitu indah.
Di Tanah Batak, kecuali
kemarau sepanjang tahun, pepohonan akan tetap berdaun. Pada masa awal
kedatangan para misionaris itu, polusi udara bahkan tanah maupun air sangat
kecil. Kehidupan dan pola hidup manusia masih tergolong alami, organik. Hutam
masih alami. Alam begitu indah apalagi yang berada dekat atau di seputar Danau
Toba. Tentu saja berbeda dengan Eropa negeri para misionaris apalagi di musim
dingin di mana cuaca begitu tidak bersahabat, pada manusia dan hewan termasuk
tumbuhan. Pohon-pohon (kecuali evergreen, semacam cemara) telanjang tak berdaun
sama sekali di musim dingin.
Sekarang kita mulai
gembar-gembor untuk mengais-ngais apa yang kita sebut kearifan lokal. Kita
merasa perlu untuk menemukannya sebab samar-samar kita tahu bahwa para
pendahulu kita punya cara tertentu berinteraksi dengan alam termasuk di Tanah
Batak. Kita mulai mempertanyakan keabsahan pandangan-pandangan dominan yang punya
potensi besar untuk menindas dan memaksa pandangan yang berbeda untuk minggir.
Bila perlu tidak hanya minggir, para pemilik pandangan dominan yang disokong
oleh agama dominan dan kapitalisme (pemerintah kolonial, tuan-tuan kebon dan
pengusaha) bisa menguburkan apa saja yang mereka anggap menghalangi
langkah-tamak mereka, bila perlu hidup-hidup juga tak apa-apa.[1]
Para orang tua di
pedesaan dulu biasa mengajarkan kepada anak-anak mereka agar kalau mau, maaf,
kencing di talun (wilayah) orang lain atau di luar kampung, di padang
penggembalaan misalnya, permisi dulu terhadap penghuni talun itu. Masyarakat
tradisional akrab dengan mitologi dan itu sebuah kearifan kolektif yang menjaga
tatanan dan keseimbangan kosmos baik yang makro maupun mikro. Belakangan, kita
terasing dari kearifan-kearifan macam itu karena kita membacanya secara
harafiah. Orang lalu berpikir: kalau mau kencing, ya sudah kencing saja!
Konsekuensinya, manusia tak lagi hormat pada alam. Inti dari kearifan
tradisional itu antara lain adalah menegakkan rasa hormat terhadap alam sebab
alam merupakan sumber penghidupan yang berkelanjutan dan mutlak.
Dalam perkembangan
selanjutnya, berlangsung akumulasi terus-menerus di mana manusia semakin tidak
hormat pada alam, pada bumi di mana mereka tinggal dan hidup. Anak-anak bahkan
orang dewasa tidak lagi merasa bersalah untuk kencing sembarangan, buang sampah
sembarangan. Tak lagi punya perasaan terhadap sampah-sampah plastik dan sampah
lainnya yang mereka produksi setiap hari. Manusia semakin terpisah dari alam
walau kaki mereka menginjak bumi saban waktu. Alam menjadi objek eksploitasi
semata.
Masyarakat tradisional
tidak boleh buang sampah sembarangan sebab komunitas mengajarkan itu tindakan
terlarang yang akan memicu kemarahan penghuni alam di masa sampah itu dibuang.
Akan ada konsekuensi bagi pelaku. Intinya sama dengan konsep modern bahwa
sampah akan menimbulkan bencana sebab mengganggu keseimbangan alam, merusak
sebab menjadi polutan terhadap udara, tanah dan air. Kita di zaman ini melihat
alam yang rusak dan terpolusi terlebih dahulu oleh sampah baru sadar bahwa
sampah menimbulkan masalah dan bencana. Masyarakat tradisional pra Kristen
misalnya, sudah mampu menciptakan sebuah kearifan yang melindungi alam yang
dalam waktu yang sama berarti melindungi diri mereka sendiri sebab mereka juga
adalah merupakan bagian dari alam.
Kenaifan manusia modern
yang dipertegas oleh Kekristenan adalah menganggap dirinya bukan bagian dari
alam tapi pemilik alam. Sebagai pemilik maka manusia mengembangkan sikap
memiliki, indentik dengan mengeksploitasi. Gereja diam-diam saja dengan
perambahan hutan yang terus berlangsung. Hampir 80% daratan Sumatra telah
menjadi lahan perkebunan mono-kultur yang melibas habis kakayaan flora dan
fauna yang sangat berharga demi memenuhi sikap memiliki itu.
Gereja-gereja baik yang
Protestan maupun yang Katolik bahkan ikut-ikutan membuka ratusan hektar lahan untuk perkebunan monokultur,
sebuah tindakan bunuh-diri jangka panjang dan sebuah penghinaan terhadap
generasi-generasi yang akan datang sebab mereka tak akan lagi dapat melihat
kekayaan flora dan fauna yang sejak awal Tuhan berikan pada manusia kecuali
mungkin dalam buku dan gambar.
III.
Analisa Teologis
Hubungan Alam dengan Manusia
Pada
kitab Kejadian dengan jelas diterangkan cerita tentang penciptaan langit dan
bumi. Pada hari pertama Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya
(Kej. 1:1). Dunia yang diciptakan oleh Allah dan Allah tetap melihatnya – enam
kali diulang (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21 dan 25) dan menyatakan dengan sederhana:
“Semuanya baik”. Ungkapan itu jelas menunjukkan bahwa Allah menikmati ciptaan
tersebut. Kata “baik” dalam bahasa Ibrani mempunyai arti yang lebih luas dari
pada sekedar masalah etika, tetapi mencakup estetika. Kata “baik” ini juga
berarti menggemakan sukacita yang menyertai karya ciptaan Allah.[2]
Dengan melihat bahwa ternyata dunia tempat tinggal manusia itu pada awalnya
adalah baik diciptakan oleh Allah, namun ternyata dunia yang baik itu telah
rusak dan tercemar oleh karena pelanggaran manusia terhadap kehendak Allah.
Oleh sebab itu, patutlah jika disuratkan bahwa Tuhan bersesal, sebab
manusia mendukacitakan hatiNya. Apakah yang menjadi keputusan atas “sesal” itu?
Air bah adalah jawabnya. Artinya dalam “sesal” itu ada tindakan Allah untuk
memperbaikinya kembali. Bumi yang dibanjiri oleh dosa membuat Allah murka dan
kemudian karena dosa itu maka bumi dibanjiri air selama 40 hari sampai binasa.
Akan tetapi dalam murka Allah ada anugerahNya, yaitu dengan penyelamatan Nuh
terlebih dahulu untuk memisahkannya dari orang-orang lain yang akan binasa itu.[3]
Dengan
melihat apa yang terjadi dalam masa Nuh itu, sebenarnya menyimpan maksud untuk
menonjolkan pokok-pokok dasar Iman Israel yaitu: adanya kenyataan
hukuman, dimana Allah memberikan perhatian yang besar kepada manusia.
Maka, apabila manusia terjangkiti kejahatan Ia akan memutuskan memusnahkan
dunia karena kejahatan akan hanya menuju kepada kehancuran. Selanjutnya, adanya
kenyataan penyelamatan Allah,maksudnya adalah Allah menghukum manusia
bukanlah sebagai kata atau tindakan terakhir. Ada satu orang yang mendapat
kasih karunia Allah yaitu yang tidak bercela di hadapan Allah. Sehingga setelah
berakhirnya air bah maka berakhirlah dunia yang penuh dengan dosa dan muncullah
jaman baru yang didasari oleh janji ilahi. Allah berjanji bahwa Ia akan
memberikan kelestarian dan keteraturan yang abadi kepada dunia dan isinya (Kej.
8:21). Sungguh ini adalah suatu dunia jaman baru. Dan manusia harus bertanggung
jawab untuk mengelolanya.
IV.
Etika Ekologi
Kristen
Manusia bagian
dari alam, dalam artian bahwa manusia juga mempunyai peran serta dalam
proses-proses biologis dan fisiologis seperti mahluk hidup lainnya. Namun
manusia juga terpisah dari alam karena manusia memiliki kesadaran dan sanggup
mengambil keputusan secara sadar tentang cara merubah alam ini. Yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana manusia memandang alam itu sebagai sumber daya
untuk dikelola bagi kehidupan manusia itu. Dalam pendekatan etis kekristenan,
manusia adalah segambar dengan Allah, di mana manusia memiliki hubungan yang
khusus dengan Allah dibanding dengan ciptaan yang lain. Dari hubungan itulah
tercipta tanggung jawab yang khusus untuk bertindak sebagai penatalayan dan
pelaksana harian pemeliharaan ciptaan. Jadi manusia diberi mandat
untuk memelihara bumi, bukan mandat mengekploitasi.[4]
Alam
dan manusia adalah satu paket dalam hubungan dengan perjanjian Allah. Bumi
adalah bagian dari alam semesta tempat bermukim manusia. Dengan demikian barang
siapa yang merusak alam berarti ia merusak hubungan perjanjian itu. Disamping
itu, pengerusakan alam akan mendatangkan kerusakan hidup umat manusia. Dalam
kaitan ini, umat manusia tidak punya keistimewaan dengan ciptaan lainnya.
Disitulah adanya saling ketergantungan di dalam komunitas manusia dengan alam semesta,
yang mana manusia menerima mandat untuk memeliharanya.
Dalam
mandat itu, ada tiga model pertanggungjawaban manusia terhadap ciptaan Alllah,
yakni:[5] Pertama, model
penatalayanan, yaitu menuntut manusia bertindak sebagai penatalayan dalam
hidup berlingkungan hidup. Oleh karena itu, manusia selaku penghuni bumi
mengemban pertanggungjawaban memelihara alam semesta. Kedua, model
persahabatan, yaitu adanya kesadaran bahwa bumi ini bukan hanya sebuah
benda yang tak bermakna, melainkan sebuah tempat yang dipilih Allah untuk
menjadi habitat khusus umat manusia. Bumi ini juga merupakan bagian yang
dikasihi Allah (Yoh. 3:16), maka manusia menjadi partner Kristus dalam
memelihara dan memperbaharui bumi ini. Dan yang ketiga, model
kekeluargaan, yaitu kesadaran bahwa umat manusia sekarang mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan generasi yang sebelumnya dan yang sesudahnya, oleh
sebab itu manusia sekarang adalah yang menjadi pewaris bumi ini kepada generasi
selanjutnya.
Karena
itu, manusia tidak boleh hanya peduli pada dirinya sendiri, melainkan juga pada
bagian-bagian lain dari dunia ini, yakni seluruh mahkluk hidup dan
benda-benda mati di seluruh alam.[6] Dengan begitu manusia dalam
hal ini menjaga dan memelihara alam bukan demi kepentingannya sendiri tetapi kerena
martabatnya sebagai mahkluk ciptaan Allah yang bertanggungjawab untuk menjaga
alam.[7]
Peran Gereja
yang Ekumenis
Peranan
gereja yang terpenting berhubungan dengan lingkungan alam dan pertumbuhan
adalah menolong orang-orang mencari patokan untuk menilai kemajuan. Banyak mata
orang tersilau oleh kemegahan dunia modern. Mereka diombang-ambingkan oleh arus
yang kurang mengerti. Dalam hal ini gereja perlu menolong mereka mengerti dan
bila perlu menentang arus itu.[8]
Gereja selaku persekutuan orang percaya tidak hanya
bertanggung jawab untuk mewujudkan persekutuan di antara sesama manusia, tetapi
juga dengan lingkungan. Selama ini ekumene hanya dimengerti
sebagai hubungan interdenominasi gereja, padahal arti
kata oikos menunjuk pada bumi atau dunia sebagai tempat
tinggal. Habitat adalah inti makna dari semua kata eko; ekonomi, ekologi, dan
ekumenesitas.
Oleh karena itu, tujuan ekumene tidak bisa lagi
terbatas pada usaha pembentukan Gereja Kristen yang Esa atau menciptakan
hubungan yang harmonis di antara orang Kristen, tetapi harus menjangkau wawasan
yang lebih luas, sesuai dengan arti dan makna yang terkandung dalam kata ekumene,
yaitu dunia atau kosmos ini secara keseluruhan, khususnya hubungan dengan
seluruh ciptaan. Kita perlu membedakan antara kata ecumenical dan
kata ecumenic, yang akar katanya sama yaitu oikos,
tetapi maknanya berbeda. Kalau ecumenical berbicara tentang
kesatuan iman, maka ecumenic berbicara tentang kesatuan
manusia dengan segala sesuatu yaitu dengan semua realitas ciptaan Allah. Akan
tetapi, keduanya mempunyai hubungan sebab kesatuan iman harus mempunyai
implikasi terhadap kesatuan dengan seluruh ciptaan. Intinya harus dipahami
bahwa ciptaan adalah tempat kehadiran Allah. Jadi, gereja ekumene (berasal
dari oikos) menunjuk pada rumah tempat kehadiran dan kediaman
Allah, maka sebagai jemaat gereja harus sejalan dengan Allah. Jemaat gereja
adalah rekan sekerja Allah dalam menatalayani dunia.
VI.
“Selamatkan Bumi
untuk Generasi Sekarang dan Masa Mendatang”[9]
Bumi
ini adalah anugrah bagi manusia, dan akan menjadi warisan kepada manusia
generasi mendatang. Bagi manusia, tak seorang pun yang ingin mewariskan harta
bendanya kepada keturunannya dalam keadaan rusak. Demikianlah halnya dengan
bumi ini yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Harapan akan
kelestarian alam harus dipersiapkan dan diwujudkan semaksimal mungkin untuk
kehidupan yang berkelanjutan dan berdamai sejahtera. Tanggung jawab itu adalah
menjaga keutuhan segala ciptaan dan mengembalikannya agar seluruh ciptaan itu
tidak bercacat sebagaimana diwariskan Allah kepada umat manusia. Oleh sebab
itu, semua insan jangan hanya berorientasi kepada prestasinya saja tanpa
mempedulikan tindakannya apakah sudah merusak alam atau tidak.
Kesadaran
akan kerusakan bumi dan memperbaikinya akan menjadi warisan yang baik bagi
generasi yang akan datang. Dengan menyelamatkan bumi ini, akan semakin
memperbaiki hubungan manusia dengan alam dan menjalankan mandat yang diberikan
Allah.[10]
VII.
Refleksi[11]
Dalam hal ini peran gereja mendapat tempat penting,
karena gereja merupakan bagian dari dunia. Sebagai bagian dari dunia, maka
gereja terpanggil untuk terlibat aktif dalam kesatuan dengan bagian-bagian lain
dari dunia.
Jika keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus dipahami
sebagai keselamatan untuk seluruh ciptaan, maka gereja terpanggil tidak hanya
untuk menyatakan pelayanan dengan sesamanya manusia, tetapi juga dengan sesama
ciptaan. Gereja harus melaksanakan pendamaian dalam rangka menghadirkan
Kerajaan Allah. Sejalan dengan hal ini, Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD)
memahami pendamaian dan pembaruan ciptaan sebagai tujuan dari misi gereja.[12]
Sejak tahun
1968 dalam Sidang Raya IV DGD di Upsala, Swedia, DGD membahas perhatian dan
tanggung jawab gereja-gereja terhadap lingkungan hidup. Sedangkan, di Indonesia
sendiri, baru dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989, dikukuhkan
secara eksklusif pengertian pemberitaan Injil yang mencakup usaha pelestarian
lingkungan hidup. Selain sebagai bagian dari tugas pemberitaan Injil, tugas
pengelolaan dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan hidup menjadi salah
satu dasar bagi gereja-gereja di Indonesia untuk berpartisipasi dalam
pembangunan nasional. Bagi gereja-gereja di Indonesia, terdapat suatu
permasalahan tersendiri dalam usahanya untuk menjadi penatalayan dunia.
Pertama, gereja-gereja di Indonesia masih terkotak-kotakan dalam berbagai
denominasi, di mana masing-masing denominasi memiliki concern tersendiri.
Kedua, konsep ecumenic sendiri belum begitu populer di
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk lebih menggugah kesadaran
gereja-gereja di Indonesia akan perannya menjadi penatalayan dunia melalui
berbagai cara, misal: diskusi teologis.
Diskusi yang perlu
dikembangkan adalah sebuah etika bagi komunitas bumi (mencakup semua
yang ada, baik yang hidup maupun tidak), karena masalah ekologi umumnya terkait
dengan pandangan etis. Etika ini berdasarkan pada pernyataan sederhana
bahwa "semua yang ada, ada bersama”. Ibarat tubuh, apabila kita tidak
memelihara kesehatan tubuh kita, misalnya dengan istirahat yang teratur dan
makan, minum yang baik, maka lama-kelamaan kita akan sakit. Sakit itu tidak
hanya dirasakan oleh bagian tubuh tertentu, tetapi juga oleh seluruh tubuh.
Oleh karena itu, manusia sebagai ciptaan yang berakal budi sudah seharusnya lebih
arif dalam menatalayani dunia ini. Di sinilah peran gereja ditantang. Apakah ia
berani menjadi nabi yang memperingatkan para pemimpin (di dunia) dalam
menentukan kebijakannya, ataukah justru ia kehilangan peran kenabiannya.
VIII.
Kesimpulan
Generasi (muda) sekarang
yang peduli pada lingkungan termasuk Danau Toba yang mulai sibuk belakangan ini
perlu mengetahui benang merah persoalan mengapa keadaan menjadi seperti
sekarang ini kalau kita bicara soal lingkungan. Sikap kita setiap hari penting:
bagaimana kita berinteraksi dengan alam sekitar. Adalah naif bicara soal Danau
Toba tapi kita menjadi budak konsumerisme. Sistem perekonomian global memaksa
kita dengan cara-cara yang halus menjadi hamba konsumerisme; membeli dan
membeli terus termasuk hal-hal yang tanpanya kita tidak akan apa-apa.
Konsumerisme adalah sebuah pertanda keterpisahan manusia dari alam sekaligus
dari sesama dan Tuhan di mana manusia mencari semacam penyatuan dengan
barang-barang yang mereka anggap menarik untuk mereka pakai atau makan. Manusia dan alam memiliki
keterikatan yang erat dalam hubungan dengan Allah dan Allah memberi mandat
kepada manusia untuk bertanggungjawab atas kelangsungan dan kelestarian alam.
[1]
https://tanobatak.wordpress.com
[2] William A. Dyrness, Agar Bumi Bersuka
Cita, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 26.
[5]
Binsar Nainggolan, Pengantar
Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-Hari Bagi Warga Gereja, L-SAPA
STT-HKBP, Pematangsiantar, 2007, hal. 133-136.
[6] Manusia dan alam merupakan bagian dari perjanjian Allah,
artinya manusia dan alam merupakan bagian dari tujuan penyelamatan Allah
sebagaimana yang terdapat di dalam Markus 16:15. Injil yang merupakan berita
keselamatan bukan hanya diberikan kepada manusia saja tetapi juga untuk seluruh
ciptaan Allah dan termasuklah di dalamnya alam.
[8] Malcolm Brownlee, Keterlibatan Dan Kewibawaan
Manusia Dalam Lingkungan Alam, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1982, hal. 26-27.
[9]
Reinjustin Gultom, Manusia
dan Lingkungan Hidup dalam: Nekson M. Simanjuntak dkk.(ed.), Pelayanan
yang memperlengkapi Jemaat, PGI Sumatera Utara, Medan, 2009, hal.
345-347.
[10]
Lihat VISI MISI DAN
KOMITMEN JPIC (Justice, Peace and Integration of Creation) ,http://www.svdjawa.org/jpic.htm, dikunjungi tgl. 31 Oktober 2009. JPIC
adalah merupakan organisasi yang melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki
hubungan manusia dengan alam dan mencoba untuk memperbaiki keadaan alam yang
mulai rusak. Ini adalah tindakan yang harus didukung dan perlu ditiru dan
dilakukan oleh yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar