Kamis, 08 September 2016

GEREJA dan POLITIK

I.              Pengantar

Banyak dari anggota jemaat (ruas) beranggapan bahwa politik itu adalah suatu pekerjaan yang kotor. Oleh karena itu, mereka tidak menghendaki Gereja untuk turut mencampuri politik. Demikian juga, mereka tidak menginginkan para Pendeta (Pastor), Guru Huria, Bibelvrouw, Diakones, Evangelis dan Majelis Jemaat (Parhalado) tidak boleh bersinggungan dengan dunia politik, walaupun itu hanya bersifat politik praktis. Karena jemaat berpikir bahwa berpolitik berarti sama dengan mencampuri masalah duniawi sebab politik itu hanya berpusat kepada masalah duniawi melulu. Bukti lain adalah perkembangan mutakhir dunia politik Indonesia menunjukkan bahwa agama merupakan salah satu institusi politik yang paling penting dalam sistem Pancasila. Sebab dari agamalah para politisi mencoba memusatkan atau mencari legitimasi dari masyarakat, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Agama telah dipergunakan sebagai sumber bagi ketajaman-ketajaman moral dan keputusan-keputusan terhadap rakyat, yang merupakan basis dari masyarakat Indonesia.

II.            Latar Belakang dan Pengertian Politik
Secara etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis = kota. Dalam istilah bahasa Inggris disebut politic, yang berarti ada hubungannya dengan kata polis atau kota yang disamakan dengan istilah Polis = City = Staats (dalam bahasa Belanda). Pada jaman Yunani Kuno, suatu kota identik dengan Negara dan kedua istilah itu sering secara bersama-sama disebut Negara Kota yang dikuasai oleh para warga kota, dimana para penata Negara Kota disebut Pemerintah yang berkedudukan di atas bukit. Fungsinya adalah untuk lebih cepat memantau musuh-musuh yang datang dari luar sehingga dapat mengantisipasi serangan musuh dengan mendirikan pagar di sekeliling Negara Kota tersebut yang di kemudian hari dipahami sebagai membangun politik yang secara lambat laun telah menjadi pagar bagi Negara. Pada awalnya, pertumbuhan politik dirasakan sangat berperan dalam membangun suatu Negara Kota, sehingga dinamika politik lantas meluas hingga sampai mengurusi masalah mengenai soal keadilan dan hukum.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, politik adalah  [1]. Dalam Buku Ensiklopedi Indonesia, politik ialah hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik, hubungan-hubungan internasional dan tata pemerintahan yang merupakan kegiatan perseorangan (individu) maupun kelompok yang menyangkut hubungan kemanusiaan secara mendasar[2]. Literatur lain menyebutkan bahwa sasaran pengertian politik adalah apa yang berhubungan dengan pemerintahan. Perkara mengelola, mengarahkan dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara[3].

Seorang filsuf Yunani Kuno yang terkenal, yaitu Aristoteles berpendapat bahwa politik itu adalah bahagian dari etika yang berurusan dengan masalah kesejahteraan manusia dan kegiatan berkelompok, dimana politik itu membutuhkan suatu strategi supaya apa yang dirancang dan direncanakan berjalan dengan baik. Namun, istilah strategi tersebut bukan dalam kaitan pemaknaan yang negatif melainkan selalu memikirkan bagaimana supaya apa-apa yang telah direncanakan dalam rangka mensejahterakan bangsa dan negara oleh panduan pemikiran politik agar tidak terprovokasi dari luar. Itulah sebenarnya dasar prinsipil politik, yaitu : baik adanya yang mengarah pada suatu tujuan yang membawa hingga mencapai hidup manusia dalam sejahtera dan berkeadilan.

Roger F. Sultau dalam bukunya berjudul Introduction to Politics berpendapat bahwa ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain (Political science is the study of the state, its aims and purposes the institutions by which these are going to be realized, its relations with its individual members and other states)[4]. J. Barents dalam bukunya berjudul Ilmu Politika mengatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan juga mempelajari negera-negara itu untuk melakukan tugasnya[5].

III.           Politik dan Kekuasaan
Politik adalah langkah strategis untuk mencapai kekuasaan dan suatu aktifitas yang mendorong manusia untuk memiliki kuasa. Dorongan tersebut disebabkan oleh fasilitas yang disediakan oleh kekuasaan, seperti memimpin, mengatur, menentukan kehendak (kebijakan) yang dilakukan. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana me-manage kekuasaan? Sebab kekuasaan bersifat subjektif maka kekuasaan akan menghadapi perlawanan, baik secara terang-terangan maupun dengan metode gerakan bawah tanah (silent action), kecuali kekuasaan tersebut dapat dikendalikan dan dipertanggungjawabkan secara objektif.

Politik dan kekuasaan adalah 2 (dua) unsur yang saling membutuhkan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak boleh dipandang hanya sebelah mata saja. Sebab politik yang tidak mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan adalah sia-sia, sedangkan kekuasaan yang tidak memakai teori politik merupakan kekuasaan yang tidak panjang usianya. Itulah sebabnya, politik dan kekuasaan adalah bersahabat ataupun bersifat kompromistis. Kekuasaan memerlukan etika politik untuk menyadari asal-usul dan sumber kekuasaan tersebut. Setiap orang yang mempunyai kekuasaan tidak boleh dikesampingkan dan diabaikan, sebab di dalam etika politik orang menunjukkan norma-norma perbuatan politik.

IV.          Kekristenan dan Politik
Pada jaman Perjanjian Lama, tepatnya jaman Nabi Musa, kerajaan bangsa Israel adalah berbentuk Theokrasi, yang artinya Allah yang memerintah atas bangsa Israel. Walaupun Musa, Harun dan Yosua bertindak sebagai pemimpin umat Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan. Tetapi, mereka semua bertindak hanya seturut dengan perintah dari Allah (Yahweh). Bentuk Kerajaan yang Theokrasi mendapat tanggapan dan protes dari umat Israel sendiri pada masa Hakim Samuel, dimana mereka sangat menginginkan seorang raja seperti bangsa-bangsa lain yang telah mempunyai raja terlebih dahulu. Tuntutan itu dikabulkan, lalu terpilihlah Saul sebagai Raja pertama bagi umat Israel. Daud dan Salomo sebagai raja kedua dan ketiga. Akan tetapi, pasca pemerintahan Raja Salomo kerajaan Israel terbagi dua : Israel Utara dan Israel Selatan. Semakin terlihatlah kehancuran bangsa Israel setelah kerajaan berbentuk Theokrasi ditinggalkan dan berubah menjadi Monarki.

Di dalam dunia Perjanjian Baru dilaporkan bahwa Yesus mengajarkan kepada para pengikutnya (orang-orang percaya) untuk membayar pajak. Dimana pajak merupakan penyokong keberlangsungan roda pemerintahan guna membangun suatu bangsa dan negara (Matius 22 : 21). Pesan Yesus tersebut mengajarkan supaya patuh dan mentaati keputusan perundang-undangan yang diberlakukan oleh negara dan mengenai Undang-Undang membayar pajak adalah tidak menyalahi, karena sasaran pajak jelas terurai dan dialamatkan. Dengan kata lain, pajak bukan merupakan income (pemasukan) yang memperkaya para pejabat negara, melainkan pajak dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Rasul Paulus menyebutkan bahwa pemerintah harus menyadari kalau masyarakat juga adalah hamba Allah untuk kebaikan bangsa dan negara (Roma 13 : 4). Inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat agar tunduk kepada pemerintah, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan pemerintahan-pemerintahan yang ada ditetapkan oleh Allah (Roma 13 : 1). Rakyat harus mendukung ketetapan pemerintah yang telah diundang-undangkan (bnd. Roma 13 : 7). Demikian juga halnya, sikap saling menghormati merupakan etika yang mendasari hidup dalam berwarga negara. Baik pemerintah maupun rakyat secara bersama membangun kebersamaan dan nilai-nilai luhur dalam menciptakan keharmonisan, kedamaian dan ketentraman sehingga cita-cita kesejahteraan bangsa dan negara tidak menjadi impian belaka, melainkan suatu realisasi yang sungguh.

Jadi, sudah menjadi tugas semua warga negara untuk berperan aktif dalam penanganan masalah politik, sebagaimana yang diperlihatkan oleh para Nabi, Yesus dan Rasul Paulus. Sehingga politik bukanlah sesuatu hal yang kotor, sebab politik merupakan suatu ketentuan yang membuat roda pemerintahan dan hidup kemasyarakatan berjalan seiringan dan berdampingan menuju masyarakat adil dan makmur. Hanya, oleh karena pelaku (oknum) politik yang membuat politik itu berkesan kotor, padahal merekalah yang disebut ”politikus busuk”.

V.           Peranan Umat Kristen Dalam Kancah Politik
Peranan umat Kristen dalam kancah politik adalah menjadi garam dan terang dunia (Matius 5 : 13-14). Di samping itu, gereja berperan sebagai salah satu institusi keagamaan yang mengawali dan melestarikan sikap kritis jika suatu gereja itu hendak eksis sebagai pelayan yang menggarami dan menerangi dunia ini. Sehingga tidak ada alasan bagi gereja untuk membiarkan situasi bangsa dan negara menjadi kasak-kusuk tanpa memandang masa depan yang berarti dan menjanjikan. Berdasar dari jawaban Petrus dan para rasul di hadapan Mahkamah Agama (Kisah Para Rasul 5 : 29), maka gereja harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Selanjutnya, berpegang kepada jiwa dan semangat juang Rasul Paulus dalam memberitakan Injil Kebenaran, seperti Injil Kristus yang menyebutkan : “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Filipi 1 : 29). Kalau Kristus telah menderita untuk umat manusia, tidakkah gereja juga demikian akan mengalami penderitaan untuk kebenaran Kristus?

Oleh karena itu, suara nyaring gereja sangat dirindukan oleh warga dan masyarakat pada saat ini, dimana gereja diyakini wajib menyerukan suara kenabiannya untuk menyatakan kebenaran Allah di tengah-tengah dunia. Sejak era Reformasi di tahun 1998, masih banyak kenyataan pahit yang dialami oleh bangsa dan rakyat Indonesia hingga detik ini, seperti masih merajalelanya kasus-kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), penegakan hukum yang (sepertinya) dikendalikan oleh elit politik dan penguasa yang terkesan tidak tersentuh oleh hukum. Pengangguran makin bertambah, keamanan kian terusik, pembobolan bank dimana-mana, maraknya sindikat penjualan obat-obat terlarang dari luar negeri, pencemaran lingkungan oleh pabrik-pabrik raksasa, pranata pemerintah yang sangat rawan konflik, dan lain sebagainya.

Ketika kesemua masalah itu terjadi, bukankah seharusnya gereja peka dan bersuara melalui doa, saluran media dan melalui warganya guna memberi penghiburan, penguatan dan pembelaan kepada mereka yang teraniaya, yang tertindas dan yang diberlakukan secara tidak adil. Dalam hal inilah bahwa gereja diutus oleh Tuhan dan ditempatkan di dunia ini untuk menggarami dan menerangi politik dan kekuasaan dunia agar mereka (para politisi dan pemerintah) menjadi pelayan, bukan hanya yang gemar dilayani oleh masyarakat.












[1]               W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1985), hal.
[2]               Hasan Sadly, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta:Ichtiar Baru-von Hoeve, 1982), hal. 2739
[3]               Lorens Bagus, Kamus Filsafat Politik, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 857
[4]               Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 9
[5]               Ibid, hal. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar