I.
Pengantar
Banyak
dari anggota jemaat (ruas) beranggapan bahwa politik itu adalah suatu pekerjaan
yang kotor. Oleh karena itu, mereka tidak menghendaki Gereja untuk turut
mencampuri politik. Demikian juga, mereka tidak menginginkan para Pendeta
(Pastor), Guru Huria, Bibelvrouw, Diakones, Evangelis dan Majelis Jemaat
(Parhalado) tidak boleh bersinggungan dengan dunia politik, walaupun itu hanya
bersifat politik praktis. Karena jemaat berpikir bahwa berpolitik berarti sama
dengan mencampuri masalah duniawi sebab politik itu hanya berpusat kepada
masalah duniawi melulu. Bukti lain adalah perkembangan mutakhir dunia politik
Indonesia menunjukkan bahwa agama merupakan salah satu institusi politik yang
paling penting dalam sistem Pancasila. Sebab dari agamalah para politisi
mencoba memusatkan atau mencari legitimasi dari masyarakat, baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Agama telah dipergunakan sebagai sumber bagi
ketajaman-ketajaman moral dan keputusan-keputusan terhadap rakyat, yang
merupakan basis dari masyarakat Indonesia.
II.
Latar Belakang
dan Pengertian Politik
Secara
etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis = kota. Dalam istilah bahasa Inggris disebut politic, yang berarti ada hubungannya
dengan kata polis atau kota yang disamakan dengan istilah Polis = City = Staats
(dalam bahasa Belanda). Pada jaman Yunani Kuno, suatu kota identik dengan
Negara dan kedua istilah itu sering secara bersama-sama disebut Negara Kota yang dikuasai oleh para
warga kota, dimana para penata Negara Kota disebut Pemerintah yang berkedudukan
di atas bukit. Fungsinya adalah untuk lebih cepat memantau musuh-musuh yang
datang dari luar sehingga dapat mengantisipasi serangan musuh dengan mendirikan
pagar di sekeliling Negara Kota tersebut yang di kemudian hari dipahami sebagai
membangun politik yang secara lambat laun telah menjadi pagar bagi Negara. Pada
awalnya, pertumbuhan politik dirasakan sangat berperan dalam membangun suatu
Negara Kota, sehingga dinamika politik lantas meluas hingga sampai mengurusi
masalah mengenai soal keadilan dan hukum.
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, politik adalah [1]. Dalam Buku Ensiklopedi Indonesia, politik ialah hal-hal yang berhubungan
dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik,
hubungan-hubungan internasional dan tata pemerintahan yang merupakan kegiatan
perseorangan (individu) maupun kelompok yang menyangkut hubungan kemanusiaan
secara mendasar[2]. Literatur lain
menyebutkan bahwa sasaran pengertian politik adalah apa yang berhubungan dengan
pemerintahan. Perkara mengelola, mengarahkan dan menyelenggarakan kebijaksanaan
umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai
yang berperan dalam kehidupan bernegara[3].
Seorang
filsuf Yunani Kuno yang terkenal, yaitu Aristoteles
berpendapat bahwa politik itu adalah
bahagian dari etika yang berurusan dengan masalah kesejahteraan manusia dan
kegiatan berkelompok, dimana politik itu membutuhkan suatu strategi supaya apa
yang dirancang dan direncanakan berjalan dengan baik. Namun, istilah strategi
tersebut bukan dalam kaitan pemaknaan yang negatif melainkan selalu memikirkan
bagaimana supaya apa-apa yang telah direncanakan dalam rangka mensejahterakan
bangsa dan negara oleh panduan pemikiran politik agar tidak terprovokasi dari
luar. Itulah sebenarnya dasar prinsipil politik, yaitu : baik adanya yang
mengarah pada suatu tujuan yang membawa hingga mencapai hidup manusia dalam
sejahtera dan berkeadilan.
Roger F. Sultau dalam bukunya berjudul Introduction to Politics berpendapat bahwa ilmu politik mempelajari
negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan
tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan
negara-negara lain (Political science is the study of the state, its aims and
purposes the institutions by which these are going to be realized, its
relations with its individual members and other states)[4]. J. Barents dalam bukunya berjudul Ilmu Politika mengatakan bahwa ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat dan juga mempelajari negera-negara itu untuk
melakukan tugasnya[5].
III.
Politik dan
Kekuasaan
Politik
adalah langkah strategis untuk mencapai kekuasaan dan suatu aktifitas yang
mendorong manusia untuk memiliki kuasa. Dorongan tersebut disebabkan oleh
fasilitas yang disediakan oleh kekuasaan, seperti memimpin, mengatur,
menentukan kehendak (kebijakan) yang dilakukan. Namun, yang menjadi masalah
adalah bagaimana me-manage kekuasaan?
Sebab kekuasaan bersifat subjektif maka kekuasaan akan menghadapi perlawanan,
baik secara terang-terangan maupun dengan metode gerakan bawah tanah (silent action), kecuali kekuasaan
tersebut dapat dikendalikan dan dipertanggungjawabkan secara objektif.
Politik
dan kekuasaan adalah 2 (dua) unsur yang saling membutuhkan bagaikan dua sisi
mata uang yang tidak boleh dipandang hanya sebelah mata saja. Sebab politik
yang tidak mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan adalah sia-sia,
sedangkan kekuasaan yang tidak memakai teori politik merupakan kekuasaan yang
tidak panjang usianya. Itulah sebabnya, politik dan kekuasaan adalah bersahabat
ataupun bersifat kompromistis. Kekuasaan memerlukan etika politik untuk
menyadari asal-usul dan sumber kekuasaan tersebut. Setiap orang yang mempunyai
kekuasaan tidak boleh dikesampingkan dan diabaikan, sebab di dalam etika
politik orang menunjukkan norma-norma perbuatan politik.
IV.
Kekristenan dan
Politik
Pada
jaman Perjanjian Lama, tepatnya jaman Nabi Musa, kerajaan bangsa Israel adalah
berbentuk Theokrasi, yang artinya Allah yang memerintah atas bangsa Israel.
Walaupun Musa, Harun dan Yosua bertindak sebagai pemimpin umat Israel keluar
dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan. Tetapi, mereka semua bertindak hanya seturut
dengan perintah dari Allah (Yahweh). Bentuk Kerajaan yang Theokrasi mendapat
tanggapan dan protes dari umat Israel sendiri pada masa Hakim Samuel, dimana
mereka sangat menginginkan seorang raja seperti bangsa-bangsa lain yang telah
mempunyai raja terlebih dahulu. Tuntutan itu dikabulkan, lalu terpilihlah Saul
sebagai Raja pertama bagi umat Israel. Daud dan Salomo sebagai raja kedua dan
ketiga. Akan tetapi, pasca pemerintahan Raja Salomo kerajaan Israel terbagi dua
: Israel Utara dan Israel Selatan. Semakin terlihatlah kehancuran bangsa Israel
setelah kerajaan berbentuk Theokrasi ditinggalkan dan berubah menjadi Monarki.
Di
dalam dunia Perjanjian Baru dilaporkan bahwa Yesus mengajarkan kepada para
pengikutnya (orang-orang percaya) untuk membayar pajak. Dimana pajak merupakan
penyokong keberlangsungan roda pemerintahan guna membangun suatu bangsa dan
negara (Matius 22 : 21). Pesan Yesus tersebut mengajarkan supaya patuh dan
mentaati keputusan perundang-undangan yang diberlakukan oleh negara dan
mengenai Undang-Undang membayar pajak adalah tidak menyalahi, karena sasaran
pajak jelas terurai dan dialamatkan. Dengan kata lain, pajak bukan merupakan income (pemasukan) yang memperkaya para
pejabat negara, melainkan pajak dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Rasul
Paulus menyebutkan bahwa pemerintah harus menyadari kalau masyarakat juga
adalah hamba Allah untuk kebaikan bangsa dan negara (Roma 13 : 4). Inilah yang
menjadi dasar bagi masyarakat agar tunduk kepada pemerintah, sebab tidak ada
pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan pemerintahan-pemerintahan yang ada
ditetapkan oleh Allah (Roma 13 : 1). Rakyat harus mendukung ketetapan
pemerintah yang telah diundang-undangkan (bnd. Roma 13 : 7). Demikian juga
halnya, sikap saling menghormati merupakan etika yang mendasari hidup dalam
berwarga negara. Baik pemerintah maupun rakyat secara bersama membangun
kebersamaan dan nilai-nilai luhur dalam menciptakan keharmonisan, kedamaian dan
ketentraman sehingga cita-cita kesejahteraan bangsa dan negara tidak menjadi impian
belaka, melainkan suatu realisasi yang sungguh.
Jadi,
sudah menjadi tugas semua warga negara untuk berperan aktif dalam penanganan
masalah politik, sebagaimana yang diperlihatkan oleh para Nabi, Yesus dan Rasul
Paulus. Sehingga politik bukanlah sesuatu hal yang kotor, sebab politik
merupakan suatu ketentuan yang membuat roda pemerintahan dan hidup
kemasyarakatan berjalan seiringan dan berdampingan menuju masyarakat adil dan
makmur. Hanya, oleh karena pelaku (oknum) politik yang membuat politik itu berkesan
kotor, padahal merekalah yang disebut ”politikus busuk”.
V.
Peranan Umat
Kristen Dalam Kancah Politik
Peranan
umat Kristen dalam kancah politik adalah menjadi garam dan terang dunia (Matius
5 : 13-14). Di samping itu, gereja berperan sebagai salah satu institusi
keagamaan yang mengawali dan melestarikan sikap kritis jika suatu gereja itu
hendak eksis sebagai pelayan yang menggarami dan menerangi dunia ini. Sehingga
tidak ada alasan bagi gereja untuk membiarkan situasi bangsa dan negara menjadi
kasak-kusuk tanpa memandang masa
depan yang berarti dan menjanjikan. Berdasar dari jawaban Petrus dan para rasul
di hadapan Mahkamah Agama (Kisah Para Rasul 5 : 29), maka gereja harus lebih
taat kepada Allah daripada kepada manusia. Selanjutnya, berpegang kepada jiwa
dan semangat juang Rasul Paulus dalam memberitakan Injil Kebenaran, seperti
Injil Kristus yang menyebutkan : “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja
untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Filipi
1 : 29). Kalau Kristus telah menderita untuk umat manusia, tidakkah gereja juga
demikian akan mengalami penderitaan untuk kebenaran Kristus?
Oleh
karena itu, suara nyaring gereja sangat dirindukan oleh warga dan masyarakat
pada saat ini, dimana gereja diyakini wajib menyerukan suara kenabiannya untuk
menyatakan kebenaran Allah di tengah-tengah dunia. Sejak era Reformasi di tahun
1998, masih banyak kenyataan pahit yang dialami oleh bangsa dan rakyat
Indonesia hingga detik ini, seperti masih merajalelanya kasus-kasus Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN), penegakan hukum yang (sepertinya) dikendalikan oleh
elit politik dan penguasa yang terkesan tidak tersentuh oleh hukum.
Pengangguran makin bertambah, keamanan kian terusik, pembobolan bank
dimana-mana, maraknya sindikat penjualan obat-obat terlarang dari luar negeri,
pencemaran lingkungan oleh pabrik-pabrik raksasa, pranata pemerintah yang
sangat rawan konflik, dan lain sebagainya.
Ketika
kesemua masalah itu terjadi, bukankah seharusnya gereja peka dan bersuara
melalui doa, saluran media dan melalui warganya guna memberi penghiburan,
penguatan dan pembelaan kepada mereka yang teraniaya, yang tertindas dan yang
diberlakukan secara tidak adil. Dalam hal inilah bahwa gereja diutus oleh Tuhan
dan ditempatkan di dunia ini untuk menggarami dan menerangi politik dan
kekuasaan dunia agar mereka (para politisi dan pemerintah) menjadi pelayan,
bukan hanya yang gemar dilayani oleh masyarakat.
[1] W. J. S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1985),
hal.
[2] Hasan Sadly, Ensiklopedi
Indonesia, (Jakarta:Ichtiar Baru-von Hoeve, 1982), hal. 2739
[3] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat Politik, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 857
[4] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,
1992), hal. 9
[5] Ibid,
hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar