Kamis, 08 September 2016

Peranan Pendeta Dalam Pelayanan Naposo Bulung


1.      Pendahuluan
Jabatan kependetaan dalam gereja HKBP bukan dipahami secara struktural tetapi dipahami secara fungsional. Apabila jabatan kependetaan dilihat secara struktural maka akan cenderung ada kemugkinan terciptanya suatu kesenjangan antara pelayan gereja, sehingga jabatan kependetaan itu menunjukkan adanya kelas-kelas sosial yang dilihat dari tingkatan kekuasaannya. Oleh karena itu para pelayan khususnya pendeta harus menyadari arti dari jabatan yang diberikan kepadanya. Jabatan adalah pintu gerbang dimulainya suatu penyangkalan dari dengan menomor-satukan Allah sebagai tuan yang mengutus hamba-Nya[1]. Jabatan pendeta yang diterima harus dipahami berasal dari Allah sebagai pengutus agung. Oleh karena itu jabatan tersebut merupakan anugrah Allah yang menuntut pertanggungjawaban kepada Allah. Jabatan pendeta memiliki fungsi untuk melayani dan bukan dilayani. Maka pelayan adalah sebuah identitas yang menunjukkan makna dan wibawa jabatan seseorang pendeta. Seorang pendeta dalam jabatannya sebagai cerminan Allah harus memiliki sifat-sifat tidak bercacat, tegas, penuh hikmat, rendah hati, dan mampu menyatakan kebenaran Allah di tengah-tengah dunia. Kepemimpinan seorang pendeta harus disadari sebagai suatu sifat keteladanan yang dapat menjadi contoh bagi jemaat. Dengan demikian seorang pendeta harus memiliki beberapa asas dalam memangku jabatannya. Yaitu : asas iman, asas pengharapan, asas kasih dan kebersamaan, asas keadilan, kemandirian dan keterbukaan. Jabatan yang diterima oleh seorang pendeta harus disadari sebagai jabatan yang membawa keselamatan yang berpusat kepada diri Yesus Kristus, karena itu dalam setiap pelayanan seorang pendeta harus menjadi cermiman kehadiran Kristus ditengah-tengah jemaat, sehingga seluruh pribadi pendeta tersebut menuju kepada pengenalan akan Yesus Kristus[2].
Oleh sebab itu, seorang Pendeta haruslah memperhatikan anggota jemaat NH adalah masa depan gereja yang diharapkan dapat menjadi penerus generasi yang baik di masa depan. Masa depan gereja sangat ditentukan oleh kualitas keimanan NH saat ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa NH mempunyai kedudukan yang penting dalam kehidupan gereja dimasa depan. Mengingat begitu pentingnya kedudukan NH dalam menentukan masa depan gereja, maka pembinaan tehadap NH menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh gereja. Pembinaan NH gereja, merupakan bagian dari pelayanan gereja. Gereja dengan mottonya “melayani bukan untuk dilayani” dituntut untuk memberikan pelayanan terhadap seluruh anggota jemaat gereja. Menyadari akan tuntutan tersebut, dan betapa pentingnya kedudukan NH dalam menetukan masa depan gereja, dalam setiap kegiatan pelayanan, terdapat interaksi diantara pelayan dan yang dilayani.  Efektifitas kegiatan pelayanan gereja tidak semata-mata ditentukan oleh pelayan, akan tetapi juga ditentukan oleh  pihak yang dilayani.  Kesungguhan dan keinginan  yang kuat dari para anggota jemaat NH dalam mengikuti pelayanan remaja  merupakan faktor pendukung terhadap efektifitas pelayananan tersebut. Namun pada sisi yang lain tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor yang dapat menghambat para NH gereja dalam mengikuti kegiatan pelayanan NH. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat bersumber dari pelayan atau yang bersumber dari jemaat NH itu sendiri.
Untuk mempermudah membaca sajian ini, saya sebagai penyaji seminar menuliskan kerangka penulisan sajian, sebagai berikut:
1.      Pendahuluan
2.      Isi: 2. a. Peranan Pendeta Dalam Pelayanan Pendidikan Agama
2. b. Masa Remaja Sebagai Titik Tolak Pemikiran Pemuda-Pemudi
2. c. Katekisasi
2. d. Pastoral
2. e. Musik Sebagai Sarana Pendidikan Firman Bagi Naposo Bulung
2. f. Tahap-tahap Pergaulan
2. g. Pendidikan Seksual
3.      Kesimpulan
Daftar Pustaka

2.      Isi
2.                   a. Peranan Pendeta Dalam Pelayanan Pendidikan Agama
Peranan pendeta didalam gereja bukan hanya mengenai pelayanan terhadap jemaat-jemaat gerejanya, akan tetapi kemampuan pendeta juga dituntut untuk melakukan pendidikan bagi kaum muda-mudi digereja tersebut. Pelayanan terhadap pemuda-pemudi (Naposo Bulung) dalam bentuk pendidikan agama kristen yang seharusnya diberikan oleh pendeta masih dapat dikatakan kurang.
Sebagai pendeta ia menjadi pusat kehidupan dan keaktifan jemaat. Dialah yang dipercaya pimpinannya. Dialah yang tampil ke muka dan memegang peranan yang penting dalam segala gerak-gerik jemaat (terkuhusnya Naposo Bulung). Dipandang dari sudut manusia, kemajuan dan perkembangan hidup rohani orang Kristen lain bergantung kepada kerajinan dan kecakapan pendeta: begitu pula pelaksanaan tugas gereja didalam dunia, pendeta yang memberitakan dan menerangkan iman kristen kepada anggota jemaat (terkhususnya Naposo Bulung). Dialah yang wajib memberi teladan tentang sikap hidup dan kelakuan kristen. Pendeta mewakili jemaatnya dan bertanggung jawab atasnya. Pertaliannya dengan jemaat (Naposo Bulung).[3]

2.      b.  Masa Remaja Sebagai Titik Tolak Pemikiran Pemuda-Pemudi
Bagi setiap anak muda, masa remaja merupakan suatu masa krisis terus-menerus dengan diselingi dengan beberapa masa reda. Secara umum, masa remaja merupakan salah satu dari masa transisi paling sulit dalam hidup. Masa yang penuh dengan pengalaman yang menegangkan, masa stres dan badai.[4] Menurut Rice, masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah, pertama, hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan, dan kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik didalam diri remaja yang membuat remaja relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya (storm and stress period).[5]

Anak dalam masa remaja memang berada dalam masa yang serba sulit. Masa yang serba salah bukan saja bagi siremaja tetapi bagi seluruh keluarga. Perubahan fisik memang jelas terlihat dari seluruh tubuhnya yang telah berubah, memperoleh ukuran dan bentuk dewasa. Akan tetapi perubahan lainnya seperti halnya perubahan-perubahan pandangan, terjadi melalui suatu proses yang lebih lama. Perombakan cara-cara berfikir dan pandangan-pandangan yang lama, tidak segera diganti dengan pandangan-pandangan yang baru. Pendapat-pendapat yang baru tidak mudah diterima dan biasanya hanya dapat diterima bila sesuai dengan selera mereka yang serba ‘berubah-ubah’ dan penuh pertentangan-pertentangan.[6]
Dengan demikian pula suasana hati mereka tidak menentu. Pada saat-saat tertentu si remaja memperlihatkan kebutuhannya akan seorang tempat bertanya. Sesaat kemudian terlihat seolah-olah dunia tidak diperlukannya, dan lebih baik hidup sendiri, terasing di kamarnya, daripada berkumpul dengan anggota keluarga lainnya. Perubahan yang meliputi fisik, psikis, dan tingkah laku si remaja, terjadi begitu cepat sehingga orang tua sering tidak dapat mengikuti tumbuhnya setiap perubahan. Anak yang biasanya dapat dibimbing dengan tidak banyak terlalu kesulitan, tiba-tiba menunjukkan perlawanan terhadap bimbingan orang tua.[7]
Siremaja yang berada dalam perubahan kemasa dewasa, akan berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan orang tuanya. Mereka ingin mengambil keputusan sendiri, akan tetapi sering pula pemikiran-pemikiran sebelumnya kurang mendalam maupun kurang didahului pembentukan dasar-dasar yang kuat. Mereka tidak mudah mengakui bahwa kedewasaan yang telah dicapainya baru dalam aspek-aspek tertentu saja, seperti bidang fisik, perkelaminan, sedangkan aspek mentalnya belum selesai proses pendewasaannya.[8]
Jelas bahwa masa remaja ini merupakan masa penuh petualangan. Pengalaman petualangan yang sering menjadi kenangan-kenangan indah dari masa muda. Sebaliknya pengalaman-pengalaman petualangan tersebut dapat pula meninggalkan bekas-bekas yang sedapat mungkin dibuang dan dilupakan.[9]


Masa remaja sering kali dikenal sebagai masa badai dan tekanan. Menurut G. Stanley Hall yang menyatakan bahwa tidak seluruh remaja akan mengalami masa badai dan tekanan ini. Namun, masa badai dan tekanan tersebut memang lebih besar kemungkinannya untuk timbul pada masa remaja bila dibandingkan pada masa-masa perkembangan lainnya. Menurut Arnet, tiga elemen kuci yang termasuk dalam konsep masa badai dan tekanan ini adalah: konflik dengan orang tua, gangguan suasana hati, dan kecenderungan terjadinya tingkah laku yang beresiko.[10]

2.         c. Katekisasi
Saat ini banyak jemaat Kristen tidak mengenal dan mengetahui dengan pasti apa itu katekisasi? Setidaknya ketidaktahuan dan kurangnya pengenalan jemaat terhadap katekisasi, nampak dari beberapa jawaban yang mereka ungkapkan, misalnya: katekisasi adalah syarat untuk memperoleh surat dibaptis atau disidi; syarat sebelum menikah sudah harus katekisasi”; katekisasi adalah pengajaran tradisi yang diharuskan di dalam gereja (maksudnya gereja-gereja Injili).[11] lebih dari itu ada jemaat (bahkan majelis gereja) yang tidak mengerti apa itu katekisasi.
Hal ini secara tidak langsung berdampak pada 2 segi, yaitu: pertama, kualitas rohani dari jemaat yang bersangkutan. Maksudnya bahwa katekisasi tidak lebih hanya menjadi sarana untuk mendapatkan “legalisasi” (atau surat-surat yang berkaitan dengan kepentingan jemaat) dari gereja. Masalah kerohanian tidak diutamakan. Apalagi dengan waktu yang singkat, hadir atau tidak hadir, jemaat tetap disidi atau dibaptis. Untuk jangka yang panjang sudah dapat dipastikan bahwa jemaat-jemaat akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang menyesatkan. Kedua, kualitas pelayanan itu sendiri. Maksudnya jemaat yang telah mengikuti katekisasi tidak melayani. Hal ini disebabkan oleh konsep bahwa katekisasi adalah pra-syarat untuk menikah dan hanya sekadar untuk mendapatkan surat baptis atau sidi yang dapat digunakan untuk kepentingannya. Akibatnya adalah: (1) kesulitan mencari generasi untuk melayani di gereja; (2) kemungkinan bahwa gereja dilayani oleh orang-orang yang “tidak siap secara rohani.” Jika ini terjadi, maka lambat laun gereja akan mengalami “pengeroposan” baik secara rohani maupun di dalam pelayanannya.


Katekisasi[12] adalah salah satu wadah, di mana gereja mempersiapkan jemaat untuk memiliki pemahaman yang benar tentang kebenaran Alkitab. Klauber mengutip John Leight sejarahwan reformasi menuliskan: Katekisasi tidak hanya semata-mata mempersiapkan orang muda untuk pembaptisan, tapi kepada semua orang percaya, untuk mengajar mereka dasar-dasar iman Kristen.[13] Di dalam ketekisasi ini, jemaat diperlengkapi dengan doktrin-doktrin dasar di dalam kekristenan yang dipercayai dan diimani oleh gereja tersebut. Selain itu katekisasi merupakan wadah untuk mencari generasi-generasi baru yang dapat diarahkan dan dipersiapkan untuk melayani Tuhan di dalam pelayanan gerejawi.
Pengajaran Alkitab yang benar menjadi fondasi yang kuat bagi pelayanan gereja dan pertumbuhan kerohanian jemaat. Jemaat harus di dorong untuk mengikuti kelas-kelas katekisasi dan pembinaan-pembinaan lainnya. Jemaat yang terlibat pelayanan harus mengerti dasar-dasar kehidupan iman yang benar melalui pengajaran katekisasi atau kelas-kelas pembinaan, tujuannya agar (1) pelayanannya murni hanya kepada Tuhan (dengan kata lain tidak ikut-ikutan); (2) ia bertumbuh di dalam iman; (3) ia tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai pengajaran duniawi yang menyesatkan; (4) mampu memberi jawaban bagi mereka yang meminta pertanggungan jawab imannya sesuai dengan kebenaran di dalam Kristus.
Oleh karena itu gereja perlu memberikan pemahaman yang jelas kepada jemaat  terkhususnya pemuda-pemudi tentang mengapa katekisasi itu perlu dilakukan? Juga memberikan dorongan kepada pemuda-pemudi untuk mengikuti kelas katekisasi, semua hal tersebut akan berjalan dengan baik apabila pelayanan yang diberikan oleh pendeta kepada jemaat pemuda-pemudi dapat menumbuhkan iman pemuda-pemudi tersebut dan pertlu ditekankan sekali lagi bahwa katekisasi adalah dasar pengetahuan bagi anggota jemaat dalam iman Kristen.





2.      d. Pastoral
Realita permasalahan yang terjadi ditengah-tengah pemuda-pemudi pada saat ini dapat kita lihat dari segala aspek kehidupan pemuda-pemudi tersebut, misalnya saja permasalahan remaja pria pelajar SMA berbicara dengan pendetanya tentang pilihan pekerjaan yang mendesaknya secara emosional atau seorang pemuda yang mencari pertolongan dalam soal teologis yang membingungkan. Keyakinan yang kaku dan negatif, rupanya telah memperhebat masalah harga diri dan kekosongan rohaninya secara mendalam atau juga dapat kita lihat dari cakupan yang lebih luas dimana Suatu komisi aksi sosial meminta bantuan pendeta untuk membuatkan rencana pendekatan terhadap soal ketidakadilan yang rumit disekitar mereka. Semua situasi ini mempunyai persamaan, yaitu untuk memenuhi berbagai kebutuhan orang yang terlibat. Para pendeta harus mampu berfungsi sebagai guru dan konselor. Mereka harus menjadi guru-konselor.[14]
Kebanyakan dari kesempatan konseling yang terbaik yang diperoleh pendeta membutuhkan campuran keterampilan mendidik yang kreatif dan konseling yang dinamis. Jenis pertolongan ini disebut konseling edukatif. Konseling edukatif merupakan proses menolong yang mengintegrasikan berbagai pemahaman dan metode dari dua fungsi pastoral yang tujuannya serupa, yaitu: membantu perkembangan kebutuhan orang. Pendekatan ini mencakup penyampaian pengetahuan, keyakinan serta nilai tertentu secara tepat, dan keterampilan penanggulangan yang merupakan bagian penting dari proses konseling. Konseling yang bersifat mendidik jauh melampaui penyampaian informasi saja. Ia membantu orang untuk mengerti menilai dan kemudian menerapkan informasi yang relevan untuk menanggulangi  situasi kehidupan mereka yang khusus.[15]
Tentu saja ada berbagai unsur yang mendidik dalam hampir setiap jenis konseling pastoral. Tetapi ada jenis konseling tertentu dimana unsur-unsur yang mendidik tampak jelas sekali. Contohnya ialah konseling referral, konseling tentang pekerjaan (vocational), konseling seksual, konseling pranikah, konseling prabaptisan, konseling perceraian. Karena itu, semua jenis konseling ini cocok diberi nama dengan “Konseling Pastoral Edukatif”.[16]

2.      e. Musik Sebagai Sarana Pendidikan Firman Bagi Naposo Bulung
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik diartikan sebagai ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Pengertian ini diperjelas lagi, yaitu nada atau suara yang disusun sedemikian rupa, sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan, terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi suara itu.[17]
Secara etimologi, istilah musik pertama kali berasal dari bahasa Yunani, yaitu “mousike”. Kata ini erat kaitannya dengan kepercayaan Yunani kuno yaitu tentang seorang dewa bernama Mousa. Dewa Mousa bertugas sebagai pemimpin kesenian dan ilmu. Sebagai pemimpin kesenian maka tugasnya adalah membawakan lagu-lagu pujian untuk menghibur hati orang banyak.[18] Dari nama dewa tersebut kemudian diadaptasikan menjadi kata musik (Inggris: Music), yang selanjutnya diartikan sebagai cetusan ekspresi dari perasaan, pikiran manusia, pengalaman hidupnya, yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi. Sedangkan istilah musik yang digunakan dalam liturgi Gereja ialah musik liturgi atau musik Gereja atau dalam bahasa latin disebut musica ecclestiastica. Musik gereja juga sering disebut musica sacra (musik yang sakral atau suci).[19]
Sayangnya, banyak pendeta dan pemimpin menyanyi memiliki pandangan yang rendah mengenai tempat musik dalam pertemuan-pertemuan gereja.  Sering musik dipilih hanya karena gayanya dan bukan kata-katanya. Suatu lagu yang tenang dipilih “untuk menyiapkan suasana“ untuk berkhotbah. Sebuah lagu yang panjangnya empat menit dipilih untuk memungkinkan cukup waktu guna pengumpulan persembahan. Sebuah lagu yang riang dipilih untuk mendorong anak-anak bergerak. Tetapi musik lebih dari pada sekedar untuk mengisi waktu, atau hiburan, atau sarana peralihan antara “bagian-bagian penting“ dari program. Musik pun berkhotbah. Musik mengajar, musik menghimbau, musik menghibur dan musik melayani. Banyak yang dapat dilakukan oleh pemimpin menyanyi atau pendeta untuk memastikan agar musik digunakan dengan tepat digereja. Memilih lagu-lagu yang kata-katanya berhubungan erat dengan pesan pendeta itu sendiri. Kata-kata itu mungkin menekankan salah satu pokok pesan itu, atau mungkin memberikan suatu tanggapan yang tepat kepada pesan tersebut. Bila ia memperkenalkan lagu-lagu itu, ia dapat menarik perhatian kepada kata-katanya dengan berbagai cara, misalnya saja dengan menarik perhatian kepada kata-katanya dengan berbagai cara atau bahkan menanyakan kepada jemaat sebuah pertanyaan yang dijawab oleh kata-kata lagu tersebut. Berbicara kepada jemaat tentang pengarang atau keadaan ketika kata-katanya ditulis dan meminta kepada jemaat untuk membandingkan lirik lagu tersebut dengan nas-nas tertentu dari Alkitab. Atau bahkan juga dapat berhenti ditengah-tengah sebuah lagu dan meminta jemaat mendiskusikan apa arti suatu ungkapan tertentu menurut mereka. Dari proses pelajaran praksis itu, pendeta menunjukan pendidikan untuk membangun iman melalui lagu, sehingga musik dapat dianggap sabagai sarana efektif dalam penyampaian firman Allah kepada jemaat dan terkhususnya kepada Naposo Bulung. Oleh karena itu, musik tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang patut untuk diremehkan atau melakukan penyalah gunaan musik ditengah-tengah pembangunan iman Naposo Bulung.[20]

2.      f. Tahap-tahap Pergaulan
Dalam banyak suku bangsa Indonesia (tetapi tidak semuanya), pemilihan jodoh adalah hal yang baru dalam beberapa dasawarsa terakhir ini dipercayakan kepada pemuda dan pemudi. Pada awal abad ini dalam suku-suku bangsa itu, orang tualah yang selalu memilih jodoh bagi anaknya; tetapi sekarang pemuda dan pemudi makin diberi kebebasan dan kewajiban untuk memilih, biasanya dengan persetujuan dan nasehat orang tua. Karena itu orang-orang Kristen perlu mengembangkan suatu proses pemilihan jodoh dan pergaulan muda-mudi. Proses ini perlu sesuai dengan prinsip-prinsip Kristen dan menolong pemuda dan pemudi bergaul dengan baik, saling mengenal, dan memilih jodoh yang tepat, dari hal itu bimbingan yang tepat dari seorang pendeta dapat masuk agar tahap-tahap pergaulan pemuda-pemudi sesuai dengan nilai-nilai kekristenan, dalam proses yang diusulkan dalam melakukan tahap pergaulan dapat dilihat dalam proses, yaitu:[21]
       Persahabatan biasa: dalam tahap pergaulan ini para pemuda-pemudi melakukan kontak sosialnya disekolah, gereja, dan dirumah teman-temannya. Dalam kontak sosial itu pria dan wanita lebih condong untuk saling mengenal lawan jenis tanpa ada rasa ketertarikan.
       Persahabatan yang luar biasa: tahap ini pria dan wanita sudah merasakan ketertarikan satu sama lain dimana frekuensi pertemuan antara pria dan wanita terjadi dari janji atau rencana pertemuan dari kedua belah pihak.
       Pacaran: dalam tahap ini pria dan wanita mengambil keputusan bersama bahwa mereka akan menjalankan suatu hubungan yang lebih khusus, dalam tahap ini kedua belah pihak sudah harus mengerti tentang batasan-batasan dalam pacaran melalui pendidikan seksual yang diberikan oleh gereja karena dalam tahap ini kesempatan untuk melakukan hubungan seksual sangat besar.
       Pertunangan: pertunangan adalah langkah menuju hubungan yang lebih serius dimana antara pasangan itu berkomitmen untuk melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.
       Pernikahan: pemberkatan pernikahan adalah puncak dari tahapan dalam menjalin hubungan antar pasangan dimana pria dan wanita mengikat janji dihadapan Tuhan melalui pendeta untuk menjadi partner hidup yang saling menerima kekurangan antar pasangan dan saling menjaga satu sama lain.
       Kesetiaan dan kemesraan: dalam hal ini lebih ditekankan bagaimana cara untuk menjaga pernikahan itu untuk tetap terjaga. Dimana suami istri menunjukan kesetiaan dan kemesraan mereka satu sama lain melalui tingkah laku atau bahkan dalam hubungan seksual. Perlu ditekankan bahwa kemesraan seksual seharusnya menjadi tanda bahwa satu orang ingin memberikan dirinya kepada yang lain. Kalau perbuatan-perbuatan seksual dipakai hanya untuk mencari sensasi saja, maka hubungan antara pria dan wanita dikorbankan demi kepuasan sementara dan dangkal sehingga pernikahan yang dijalankan itu tidak akan berlangsung lama dan kandas sehingga berakhir dengan perceraian.
       Kejujuran dan kesopanan: dalam hal ini juga lebih menekankan perihal bagaimana menjaga pernikahan itu untuk tetap eksis, dimana pasangan suami istri menjaga hati untuk selalu tetap jujur terhadap pasangannya sehingga tercipta saling menghormati dan tercipta kesopanan antara suami dengan istri, yang mana suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai partner dalam menjaga pernikahan itu dan terciptalah keharmonisan dalam berumah tangga yang sesuai dengan nilai-nilai kekristenan.

Semua tahapan itu haruslah diberikan seorang pendeta agar para pemuda-pemudi kristen dapat mengerti bagaimana menciptakan suatu keluarga kristen dan melalui tahapan ini juga pendeta dapat memberikan pandangan mengenai batasan-batasan dalam melakukan kontak sosial terhadap lawan jenisnya.

2.      g. Pendidikan Seksual
Sering sekali seorang pemuda bertanya “mengapa hubungan seks sebelum menikah dinilai jahat, sedangkan setelah pernikahan dianggap baik”? Bila pertanyaan ini diajukan ada kesan bahwa orang yang menanyakan beranggapan bahwa agama Kristen mengajarkan bahwa seks itu jahat. Dia sama sekali tidak memikirkan Tuhan yang menciptakan seks. Tentu saja anggapan yang menyatakan bahwa seks itu jahat adalah salah. Sebab tidak ada sesuatupun yang diciptakan Tuhan itu jahat. Yang jahat dan salah ialah penyalahgunaan seks yang sewenang-wenang oleh manusia  [22].
Dalam pemahaman iman Kristen, Seks dalam Perkawinan Kristen merupakan anugerah Tuhan Allah [Kejadian  1:27,  28;  2: 18,  21-25],  wajar,  indah,  sakral,  dan untuk dinikmati bersama hanya oleh dan bagi suami isteri.   Tuhan Allah menciptakan manusia dengan sempurna yang menyangkut seluruh aspek psikis dan fisiknya,  serta  hidup dan kehidupannya.    Salah satu aspek yang terkandung dalam  keutuhan manusia tersebut adalah nafsu atau yang lebih tepatnya adalah naluri  seksual.   Naluri ini bukan untuk menyiksa laki-laki dan perempuan, tetapi agar mereka mendapatkan kenikmatan dan kepuasaan.  Tuhan Allah telah merancang  dan menciptakan manusia dengan begitu sehingga mempunyai daya tarik dan kenikmatan jasmaniah.  Sehingga  hubungan intim mampu melepaskan ketegangan biologis,  serta sekaligus yang menunjukkan bahwa suami atau isteri  secara total menerima pasangannya,  dan menyatakan dengan bahasa tubuh yang romantis kesediaanya untuk saling bergantung satu sama lain.
Seks dalam perkawinan merupakan berkat dari Tuhan Allah yang menyenangkan suami-isteri,  “Diberkatilah kiranya sendangmu,  bersukacitalah dengan isteri masa mudamu.: rusa yang manis,  kijang yang jelita;  biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya”  [ Amsal 5:18-19].  Secara umum dan ringkas fungsi seks dalam perkawinan -tanpa menurut urutan pentingnya- menyangkut berbagai aspek, antara lain:[23]

1. Komunikasi kasih dan  pernyataan cinta.

2.  Identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan yang mampu melayani pasangan

3.  Kesatuan dalam keterpaduan, secara fisik dan psikis antara suami-isteri

4.  Prokreasi, untuk memperoleh keturunan

5.  Rekreasi, menyangkut kemampuan melakukan hubungan yang lama sehingga masing-                                                 masing  pasangan mencapai orgasme 

6.   Antisipasi tindakan asusila
            Oleh karena itu sebagai seorang pemuda-pemudi Kristen, untuk menikmati seks sangat baik sekali untuk menunggu sampai hari pernikahan. Perlu ditekankan sekali bahwa hubungan seksual sebelum menikah akan menyebabkan kehamilan dan kelahiran anak yang tak diinginkan. Persetubuhan dapat merusak penghargaan kita kepada diri sendiri dan kepada partner kita. Persetubuhan dengan orang yang tidak kita cintai memperalat orang itu dan menciptakan kebiasaan menggunakan seksualitas sebagai permainan dan bukan sebagai cara untuk menyatakan cinta kasih. Persetubuhan dengan orang yang kita cintai menyulitkan kebebasan untuk membatalkan hubungan itu, kalau cinta itu kelak akan menjadi luntur. Kita dapat merasa wajib untuk menikah dengan orang itu walaupun kita tidak lagi mencintainya. Sebenarnya semua alasan ini adalah segi-segi dari satu alasan pokok. Kita jangan mencuri makna kegirangan seksual dari pernikahan kita. Kita jangan memboroskan karunia yang diberikan kepada kita oleh Allah.[24] Oleh karena itu pendidikan seksual sangat perlu sekali diterapkan dalam pendidikan agama kristen, agar setiap pemuda-pemudi Kristen dapat memiliki pandangan hidup yang baik dan tidak terjerumus dalam dosa yang menyesatkan para pemuda dan pemudi itu sendiri.

3.      Kesimpulan
Anggota jemaat Naposo Bulung HKBP adalah masa depan gereja yang diharapkan dapat menjadi penerus generasi yang baik di masa depan. Oleh karena itu perlu sekali mereka dibimbing dan dibina agar menjadi para penerus gereja, untuk pandangan sekilas para pemuda dan pemudi ini dilihat sebagai sesuatu yang patut untuk diremehkan oleh para pendeta, pandangan itu sangatlah tidak baik karena akan merusak masa depan gereja itu sendiri. Para pemuda dan pemudi seharusnya dituntun dalam gereja agar mereka menjadi garam bagi dunia seperti yang tertulis dalam Matius  5:13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
Masa muda adalah masa yang rentan dalam kehidupan, pada masa muda ini para pemuda dan pemudi menjumpai segala sesuatu yang baru, segala kenikmatan duniawi yang dapat membutakan mata mereka oleh karena itu mereka sangat memerlukan segala bimbingan baik dalam rumah mereka yang mana para orang tua berperan dalam memberikan kasih sayang yang tulus, dalam sekolah dimana sekolah memberikan pengajaran yang baik demi pengetahuan intelektual mereka dan tak lupa serta yang paling penting adalah peranan gereja dalam membentuk spiritual para pemuda dan pemudi dalam ibadah gereja, katekisasi, atau juga bimbingan secara personal sehingga mereka dapat menjadi umat Allah.















[1] J. O. Sanders, Kepemimpinan Rohani, Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2001, hlm. 48
[2] M. B. Strom, Apakah Pengembalaan itu?, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hlm. 27
[3] E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2008, hlm. 53
[4] H. Norman Wrigth, Konseling Krisis: Membantu Orang dalam Krisis dan Stres, Gandum Mas, Malang 2006, hlm. 225
[5] Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004, hlm. 262
[6] Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, BKP Gunung Mulia, Jakarta 1979, hlm. 96-97
[7] Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, hlm. 97
[8] Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, hlm. 97-98
[9] Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, hlm. 98
[10] Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, hlm. 266
[11] Gereja-gereja yang melakukan pelayanan katekisasi adalah gereja-gereja yang tergabung di dalam arus utama tradisi Protestan, seperti dari aliran Lutheran dan Calvinis / gereja Reformasi. Sedangkan gereja-gereja aliran baru, seperti gerakan Pentakosta dan Karismatik tidak mengenal katekisasi.
[12] Definisi katekisasi dirumuskan sebagai berikut: A Catechisms is a popular manual of instruction (Gr. Katecheo, to instruct) in Christian beliefs, normally in question and answer form. Dikutip dari: Walter A. Elwell, (Edit.), Evangelical Dictionary of Theology. Second edition, Baker Academics, Michigan 2001, hlm. 211.
[13] Martin I Klauber, Confessions, Creeds, and Catechisms in Swiss Reformed Theology (1675-1734), In Westminster Theological Journal, Vol. 57:2, Fall 1995, hlm. 403. to quote John Leight, writes: It (catechism) was not initially used solely for the young person preparing for confirmation, but for all believers in order to teach them the basics of the Christian faith.
[14] Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Kanisius, Yogyakarta 2002, hlm. 425-426
[15] Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, hlm. 426
[16] Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, hlm. 426
[17] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta 2002, hlm. 766
[18] E. Nugroho (ed), Ensiklopedi Nasional Indonesia Vol. X, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta 1990, hlm. 301
[19] E. Martasudjita, Pr. Pengantar Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 1999, hlm. 135
[20] bnd. Ronal W. Leigh, Melayani Dengan Efektif, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2004, hlm. 215-216
[21] bnd. Malcolm Brownlee, Hai Pemuda, Pilihlah!, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2003, hlm. 97-103
[22] Herbert J. Miles, Sebelum Menikah Fahamilah Dulu Seks, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001,hlm. 93-94.
[23] Herbert J. Miles, Sebelum Menikah Fahamilah Dulu Seks, hlm. 93-94.
[24] Malcolm Brownlee, Hai Pemuda, Pilihlah!, hlm. 96

1 komentar:

  1. bagus loh ban postingannya sangat membantu dalam pengerjaan tugas. terimakasih dan sukses untuk kedepannya

    BalasHapus