1.
Pendahuluan
Jabatan kependetaan dalam gereja HKBP bukan dipahami secara struktural
tetapi dipahami secara fungsional. Apabila jabatan kependetaan dilihat secara
struktural maka akan cenderung ada kemugkinan terciptanya suatu kesenjangan
antara pelayan gereja, sehingga jabatan kependetaan itu menunjukkan adanya
kelas-kelas sosial yang dilihat dari tingkatan kekuasaannya. Oleh karena itu
para pelayan khususnya pendeta harus menyadari arti dari jabatan yang diberikan
kepadanya. Jabatan adalah pintu gerbang dimulainya suatu penyangkalan dari
dengan menomor-satukan Allah sebagai tuan yang mengutus hamba-Nya[1]. Jabatan pendeta yang diterima harus dipahami berasal
dari Allah sebagai pengutus agung. Oleh karena itu jabatan tersebut merupakan
anugrah Allah yang menuntut pertanggungjawaban kepada Allah. Jabatan pendeta
memiliki fungsi untuk melayani dan bukan dilayani. Maka pelayan adalah sebuah
identitas yang menunjukkan makna dan wibawa jabatan seseorang pendeta. Seorang pendeta
dalam jabatannya sebagai cerminan Allah harus memiliki sifat-sifat tidak
bercacat, tegas, penuh hikmat, rendah hati, dan mampu menyatakan kebenaran
Allah di tengah-tengah dunia. Kepemimpinan seorang pendeta harus disadari
sebagai suatu sifat keteladanan yang dapat menjadi contoh bagi jemaat. Dengan
demikian seorang pendeta harus memiliki beberapa asas dalam memangku
jabatannya. Yaitu : asas iman, asas pengharapan, asas kasih dan kebersamaan,
asas keadilan, kemandirian dan keterbukaan. Jabatan yang diterima oleh seorang
pendeta harus disadari sebagai jabatan yang membawa keselamatan yang berpusat
kepada diri Yesus Kristus, karena itu dalam setiap pelayanan seorang pendeta
harus menjadi cermiman kehadiran Kristus ditengah-tengah jemaat, sehingga seluruh
pribadi pendeta tersebut menuju kepada pengenalan akan Yesus Kristus[2].
Oleh sebab itu,
seorang Pendeta haruslah memperhatikan anggota jemaat NH adalah masa depan
gereja yang diharapkan dapat menjadi penerus generasi yang baik di masa depan.
Masa depan gereja sangat ditentukan oleh kualitas keimanan NH saat ini. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa NH mempunyai kedudukan yang penting dalam
kehidupan gereja dimasa depan. Mengingat begitu pentingnya kedudukan NH dalam
menentukan masa depan gereja, maka pembinaan tehadap NH menjadi hal yang sangat
penting untuk diperhatikan oleh gereja. Pembinaan NH gereja, merupakan bagian
dari pelayanan gereja. Gereja dengan mottonya “melayani bukan untuk dilayani”
dituntut untuk memberikan pelayanan terhadap seluruh anggota jemaat gereja.
Menyadari akan tuntutan tersebut, dan betapa pentingnya kedudukan NH dalam
menetukan masa depan gereja, dalam setiap kegiatan pelayanan, terdapat
interaksi diantara pelayan dan yang dilayani.
Efektifitas kegiatan pelayanan gereja tidak semata-mata ditentukan oleh
pelayan, akan tetapi juga ditentukan oleh
pihak yang dilayani. Kesungguhan
dan keinginan yang kuat dari para anggota
jemaat NH dalam mengikuti pelayanan remaja
merupakan faktor pendukung terhadap efektifitas pelayananan tersebut.
Namun pada sisi yang lain tidak tertutup kemungkinan adanya faktor-faktor yang
dapat menghambat para NH gereja dalam mengikuti kegiatan pelayanan NH.
Faktor-faktor penghambat tersebut dapat bersumber dari pelayan atau yang
bersumber dari jemaat NH itu sendiri.
Untuk mempermudah membaca sajian ini, saya sebagai penyaji seminar
menuliskan kerangka penulisan sajian, sebagai berikut:
1.
Pendahuluan
2.
Isi: 2. a. Peranan Pendeta
Dalam Pelayanan Pendidikan Agama
2. b. Masa Remaja Sebagai Titik Tolak Pemikiran Pemuda-Pemudi
2. c. Katekisasi
2. d. Pastoral
2. e. Musik Sebagai Sarana Pendidikan Firman Bagi Naposo Bulung
2. f. Tahap-tahap Pergaulan
2. g. Pendidikan Seksual
3.
Kesimpulan
Daftar
Pustaka
2.
Isi
2.
a. Peranan Pendeta Dalam Pelayanan Pendidikan Agama
Peranan pendeta didalam gereja bukan hanya mengenai pelayanan terhadap
jemaat-jemaat gerejanya, akan tetapi kemampuan pendeta juga dituntut untuk
melakukan pendidikan bagi kaum muda-mudi digereja tersebut. Pelayanan terhadap
pemuda-pemudi (Naposo Bulung) dalam bentuk pendidikan agama kristen yang
seharusnya diberikan oleh pendeta masih dapat dikatakan kurang.
Sebagai pendeta ia menjadi pusat kehidupan dan keaktifan jemaat. Dialah
yang dipercaya pimpinannya. Dialah yang tampil ke muka dan memegang peranan yang
penting dalam segala gerak-gerik jemaat (terkuhusnya Naposo Bulung). Dipandang
dari sudut manusia, kemajuan dan perkembangan hidup rohani orang Kristen lain
bergantung kepada kerajinan dan kecakapan pendeta: begitu pula pelaksanaan
tugas gereja didalam dunia, pendeta yang memberitakan dan menerangkan iman
kristen kepada anggota jemaat (terkhususnya Naposo Bulung). Dialah yang wajib
memberi teladan tentang sikap hidup dan kelakuan kristen. Pendeta mewakili
jemaatnya dan bertanggung jawab atasnya. Pertaliannya dengan jemaat (Naposo
Bulung).[3]
2.
b.
Masa Remaja Sebagai Titik Tolak
Pemikiran Pemuda-Pemudi
Bagi setiap anak muda, masa remaja merupakan suatu masa
krisis terus-menerus dengan diselingi dengan beberapa masa reda. Secara umum,
masa remaja merupakan salah satu dari masa transisi paling sulit dalam hidup.
Masa yang penuh dengan pengalaman yang menegangkan, masa stres dan badai.[4]
Menurut Rice, masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu tumbuh dari
masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut,
ada dua hal penting menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal
tersebut adalah, pertama, hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan
lingkungan, dan kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik
didalam diri remaja yang membuat remaja relatif lebih bergejolak dibandingkan
dengan masa perkembangan lainnya (storm
and stress period).[5]
Anak dalam masa remaja memang berada dalam masa yang serba
sulit. Masa yang serba salah bukan saja bagi siremaja tetapi bagi seluruh
keluarga. Perubahan fisik memang jelas terlihat dari seluruh tubuhnya yang
telah berubah, memperoleh ukuran dan bentuk dewasa. Akan tetapi perubahan
lainnya seperti halnya perubahan-perubahan pandangan, terjadi melalui suatu
proses yang lebih lama. Perombakan cara-cara berfikir dan pandangan-pandangan
yang lama, tidak segera diganti dengan pandangan-pandangan yang baru.
Pendapat-pendapat yang baru tidak mudah diterima dan biasanya hanya dapat
diterima bila sesuai dengan selera mereka yang serba ‘berubah-ubah’ dan penuh
pertentangan-pertentangan.[6]
Dengan demikian pula suasana hati mereka tidak menentu. Pada
saat-saat tertentu si remaja memperlihatkan kebutuhannya akan seorang tempat
bertanya. Sesaat kemudian terlihat seolah-olah dunia tidak diperlukannya, dan
lebih baik hidup sendiri, terasing di kamarnya, daripada berkumpul dengan
anggota keluarga lainnya. Perubahan yang meliputi fisik, psikis, dan tingkah
laku si remaja, terjadi begitu cepat sehingga orang tua sering tidak dapat
mengikuti tumbuhnya setiap perubahan. Anak yang biasanya dapat dibimbing dengan
tidak banyak terlalu kesulitan, tiba-tiba menunjukkan perlawanan terhadap
bimbingan orang tua.[7]
Siremaja yang berada dalam perubahan kemasa dewasa, akan
berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan orang tuanya. Mereka ingin
mengambil keputusan sendiri, akan tetapi sering pula pemikiran-pemikiran
sebelumnya kurang mendalam maupun kurang didahului pembentukan dasar-dasar yang
kuat. Mereka tidak mudah mengakui bahwa kedewasaan yang telah dicapainya baru
dalam aspek-aspek tertentu saja, seperti bidang fisik, perkelaminan, sedangkan
aspek mentalnya belum selesai proses pendewasaannya.[8]
Jelas bahwa masa remaja ini merupakan masa penuh
petualangan. Pengalaman petualangan yang sering menjadi kenangan-kenangan indah
dari masa muda. Sebaliknya pengalaman-pengalaman petualangan tersebut dapat
pula meninggalkan bekas-bekas yang sedapat mungkin dibuang dan dilupakan.[9]
Masa remaja sering kali dikenal sebagai masa badai dan
tekanan. Menurut G. Stanley Hall yang menyatakan bahwa tidak seluruh remaja
akan mengalami masa badai dan tekanan ini. Namun, masa badai dan tekanan
tersebut memang lebih besar kemungkinannya untuk timbul pada masa remaja bila
dibandingkan pada masa-masa perkembangan lainnya. Menurut Arnet, tiga elemen
kuci yang termasuk dalam konsep masa badai dan tekanan ini adalah: konflik
dengan orang tua, gangguan suasana hati, dan kecenderungan terjadinya tingkah
laku yang beresiko.[10]
2.
c. Katekisasi
Saat
ini banyak jemaat Kristen tidak mengenal dan mengetahui dengan pasti apa itu
katekisasi? Setidaknya ketidaktahuan dan kurangnya pengenalan jemaat terhadap
katekisasi, nampak dari beberapa jawaban yang mereka ungkapkan, misalnya:
katekisasi adalah syarat untuk memperoleh surat dibaptis atau disidi; syarat
sebelum menikah sudah harus katekisasi”; katekisasi adalah pengajaran tradisi
yang diharuskan di dalam gereja (maksudnya gereja-gereja Injili).[11] lebih dari itu ada jemaat
(bahkan majelis gereja) yang tidak mengerti apa itu katekisasi.
Hal
ini secara tidak langsung berdampak pada 2 segi, yaitu: pertama, kualitas
rohani dari jemaat yang bersangkutan. Maksudnya bahwa katekisasi tidak lebih
hanya menjadi sarana untuk mendapatkan “legalisasi” (atau surat-surat yang
berkaitan dengan kepentingan jemaat) dari gereja. Masalah kerohanian tidak
diutamakan. Apalagi dengan waktu yang singkat, hadir atau tidak hadir, jemaat
tetap disidi atau dibaptis. Untuk jangka yang panjang sudah dapat dipastikan
bahwa jemaat-jemaat akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang
menyesatkan. Kedua, kualitas pelayanan itu sendiri. Maksudnya jemaat yang telah
mengikuti katekisasi tidak melayani. Hal ini disebabkan oleh konsep bahwa
katekisasi adalah pra-syarat untuk menikah dan hanya sekadar untuk mendapatkan
surat baptis atau sidi yang dapat digunakan untuk kepentingannya. Akibatnya
adalah: (1) kesulitan mencari generasi untuk melayani di gereja; (2)
kemungkinan bahwa gereja dilayani oleh orang-orang yang “tidak siap secara
rohani.” Jika ini terjadi, maka lambat laun gereja akan mengalami
“pengeroposan” baik secara rohani maupun di dalam pelayanannya.
Katekisasi[12] adalah salah satu wadah,
di mana gereja mempersiapkan jemaat untuk memiliki pemahaman yang benar tentang
kebenaran Alkitab. Klauber mengutip John Leight sejarahwan reformasi
menuliskan: Katekisasi tidak hanya semata-mata mempersiapkan orang muda untuk
pembaptisan, tapi kepada semua orang percaya, untuk mengajar mereka dasar-dasar
iman Kristen.[13]
Di dalam ketekisasi ini, jemaat diperlengkapi dengan doktrin-doktrin dasar di
dalam kekristenan yang dipercayai dan diimani oleh gereja tersebut. Selain itu
katekisasi merupakan wadah untuk mencari generasi-generasi baru yang dapat
diarahkan dan dipersiapkan untuk melayani Tuhan di dalam pelayanan gerejawi.
Pengajaran
Alkitab yang benar menjadi fondasi yang kuat bagi pelayanan gereja dan
pertumbuhan kerohanian jemaat. Jemaat harus di dorong untuk mengikuti
kelas-kelas katekisasi dan pembinaan-pembinaan lainnya. Jemaat yang terlibat
pelayanan harus mengerti dasar-dasar kehidupan iman yang benar melalui
pengajaran katekisasi atau kelas-kelas pembinaan, tujuannya agar (1)
pelayanannya murni hanya kepada Tuhan (dengan kata lain tidak ikut-ikutan); (2)
ia bertumbuh di dalam iman; (3) ia tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai
pengajaran duniawi yang menyesatkan; (4) mampu memberi jawaban bagi mereka yang
meminta pertanggungan jawab imannya sesuai dengan kebenaran di dalam Kristus.
Oleh
karena itu gereja perlu memberikan pemahaman yang jelas kepada jemaat terkhususnya pemuda-pemudi tentang mengapa katekisasi itu perlu dilakukan? Juga memberikan dorongan
kepada pemuda-pemudi untuk mengikuti kelas
katekisasi, semua hal tersebut akan berjalan dengan baik apabila
pelayanan yang diberikan oleh pendeta kepada jemaat pemuda-pemudi dapat menumbuhkan
iman pemuda-pemudi tersebut dan pertlu ditekankan sekali lagi bahwa katekisasi
adalah dasar pengetahuan bagi anggota jemaat dalam iman Kristen.
2. d. Pastoral
Realita
permasalahan yang terjadi ditengah-tengah pemuda-pemudi pada saat ini dapat
kita lihat dari segala aspek kehidupan pemuda-pemudi tersebut, misalnya saja
permasalahan remaja pria pelajar SMA berbicara dengan pendetanya tentang
pilihan pekerjaan yang mendesaknya secara emosional atau seorang pemuda yang
mencari pertolongan dalam soal teologis yang membingungkan. Keyakinan yang kaku
dan negatif, rupanya telah memperhebat masalah harga diri dan kekosongan
rohaninya secara mendalam atau juga dapat kita lihat dari cakupan yang lebih
luas dimana Suatu komisi aksi sosial meminta bantuan pendeta untuk membuatkan
rencana pendekatan terhadap soal ketidakadilan yang rumit disekitar mereka.
Semua situasi ini mempunyai persamaan, yaitu untuk memenuhi berbagai kebutuhan
orang yang terlibat. Para pendeta harus mampu berfungsi sebagai guru dan
konselor. Mereka harus menjadi guru-konselor.[14]
Kebanyakan
dari kesempatan konseling yang terbaik yang diperoleh pendeta membutuhkan
campuran keterampilan mendidik yang kreatif dan konseling yang dinamis. Jenis
pertolongan ini disebut konseling
edukatif. Konseling edukatif merupakan proses menolong yang
mengintegrasikan berbagai pemahaman dan metode dari dua fungsi pastoral yang
tujuannya serupa, yaitu: membantu perkembangan kebutuhan orang. Pendekatan ini
mencakup penyampaian pengetahuan, keyakinan serta nilai tertentu secara tepat,
dan keterampilan penanggulangan yang merupakan bagian penting dari proses
konseling. Konseling yang bersifat mendidik jauh melampaui penyampaian informasi
saja. Ia membantu orang untuk mengerti menilai dan kemudian menerapkan
informasi yang relevan untuk menanggulangi
situasi kehidupan mereka yang khusus.[15]
Tentu saja
ada berbagai unsur yang mendidik dalam hampir setiap jenis konseling pastoral.
Tetapi ada jenis konseling tertentu dimana unsur-unsur yang mendidik tampak
jelas sekali. Contohnya ialah konseling referral, konseling tentang pekerjaan
(vocational), konseling seksual, konseling pranikah, konseling prabaptisan,
konseling perceraian. Karena itu, semua jenis konseling ini cocok diberi nama
dengan “Konseling Pastoral Edukatif”.[16]
2. e. Musik Sebagai Sarana
Pendidikan Firman Bagi Naposo Bulung
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik diartikan sebagai ilmu atau seni menyusun
nada atau suara dalam urutan, kombinasi dan hubungan temporal untuk
menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan.
Pengertian ini diperjelas lagi, yaitu nada atau suara yang disusun sedemikian
rupa, sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan, terutama yang
menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi suara itu.[17]
Secara etimologi, istilah musik pertama kali berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “mousike”.
Kata ini erat kaitannya dengan kepercayaan Yunani kuno yaitu tentang seorang
dewa bernama Mousa. Dewa Mousa bertugas sebagai pemimpin kesenian dan ilmu.
Sebagai pemimpin kesenian maka tugasnya adalah membawakan lagu-lagu pujian
untuk menghibur hati orang banyak.[18] Dari nama dewa tersebut
kemudian diadaptasikan menjadi kata musik (Inggris: Music), yang selanjutnya
diartikan sebagai cetusan ekspresi dari perasaan, pikiran manusia, pengalaman
hidupnya, yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi. Sedangkan istilah
musik yang digunakan dalam liturgi Gereja ialah musik liturgi atau musik Gereja
atau dalam bahasa latin disebut musica
ecclestiastica. Musik gereja juga sering disebut musica sacra (musik yang sakral atau suci).[19]
Sayangnya, banyak pendeta dan pemimpin menyanyi memiliki pandangan yang
rendah mengenai tempat musik dalam pertemuan-pertemuan gereja. Sering musik dipilih hanya karena gayanya dan
bukan kata-katanya. Suatu lagu yang tenang dipilih “untuk menyiapkan suasana“
untuk berkhotbah. Sebuah lagu yang panjangnya empat menit dipilih untuk memungkinkan
cukup waktu guna pengumpulan persembahan. Sebuah lagu yang riang dipilih untuk
mendorong anak-anak bergerak. Tetapi musik lebih dari pada sekedar untuk
mengisi waktu, atau hiburan, atau sarana peralihan antara “bagian-bagian
penting“ dari program. Musik pun berkhotbah. Musik mengajar, musik menghimbau,
musik menghibur dan musik melayani. Banyak yang dapat dilakukan oleh pemimpin
menyanyi atau pendeta untuk memastikan agar musik digunakan dengan tepat
digereja. Memilih lagu-lagu yang kata-katanya berhubungan erat dengan pesan
pendeta itu sendiri. Kata-kata itu mungkin menekankan salah satu pokok pesan
itu, atau mungkin memberikan suatu tanggapan yang tepat kepada pesan tersebut.
Bila ia memperkenalkan lagu-lagu itu, ia dapat menarik perhatian kepada
kata-katanya dengan berbagai cara, misalnya saja dengan menarik perhatian
kepada kata-katanya dengan berbagai cara atau bahkan menanyakan kepada jemaat
sebuah pertanyaan yang dijawab oleh kata-kata lagu tersebut. Berbicara kepada
jemaat tentang pengarang atau keadaan ketika kata-katanya ditulis dan meminta
kepada jemaat untuk membandingkan lirik lagu tersebut dengan nas-nas tertentu
dari Alkitab. Atau bahkan juga dapat berhenti ditengah-tengah sebuah lagu dan
meminta jemaat mendiskusikan apa arti suatu ungkapan tertentu menurut mereka.
Dari proses pelajaran praksis itu, pendeta menunjukan pendidikan untuk
membangun iman melalui lagu, sehingga musik dapat dianggap sabagai sarana
efektif dalam penyampaian firman Allah kepada jemaat dan terkhususnya kepada
Naposo Bulung. Oleh karena itu, musik tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang
patut untuk diremehkan atau melakukan penyalah gunaan musik ditengah-tengah
pembangunan iman Naposo Bulung.[20]
2.
f. Tahap-tahap Pergaulan
Dalam banyak suku bangsa Indonesia (tetapi tidak semuanya), pemilihan jodoh
adalah hal yang baru dalam beberapa dasawarsa terakhir ini dipercayakan kepada pemuda
dan pemudi. Pada awal abad ini dalam suku-suku bangsa itu, orang tualah yang
selalu memilih jodoh bagi anaknya; tetapi sekarang pemuda dan pemudi makin
diberi kebebasan dan kewajiban untuk memilih, biasanya dengan persetujuan dan
nasehat orang tua. Karena itu orang-orang Kristen perlu mengembangkan suatu
proses pemilihan jodoh dan pergaulan muda-mudi. Proses ini perlu sesuai dengan
prinsip-prinsip Kristen dan menolong pemuda dan pemudi bergaul dengan baik,
saling mengenal, dan memilih jodoh yang tepat, dari hal itu bimbingan yang
tepat dari seorang pendeta dapat masuk agar tahap-tahap pergaulan pemuda-pemudi
sesuai dengan nilai-nilai kekristenan, dalam proses yang diusulkan dalam
melakukan tahap pergaulan dapat dilihat dalam proses, yaitu:[21]
Persahabatan
biasa: dalam tahap pergaulan ini para
pemuda-pemudi melakukan kontak sosialnya disekolah, gereja, dan dirumah
teman-temannya. Dalam kontak sosial itu pria dan wanita lebih condong untuk
saling mengenal lawan jenis tanpa ada rasa ketertarikan.
Persahabatan
yang luar biasa: tahap ini pria dan wanita
sudah merasakan ketertarikan satu sama lain dimana frekuensi pertemuan antara
pria dan wanita terjadi dari janji atau rencana pertemuan dari kedua belah
pihak.
Pacaran: dalam tahap ini pria dan wanita mengambil keputusan
bersama bahwa mereka akan menjalankan suatu hubungan yang lebih khusus, dalam
tahap ini kedua belah pihak sudah harus mengerti tentang batasan-batasan dalam
pacaran melalui pendidikan seksual yang diberikan oleh gereja karena dalam
tahap ini kesempatan untuk melakukan hubungan seksual sangat besar.
Pertunangan: pertunangan adalah langkah menuju hubungan yang lebih
serius dimana antara pasangan itu berkomitmen untuk melanjutkan hubungan
tersebut ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.
Pernikahan: pemberkatan pernikahan adalah puncak dari tahapan dalam
menjalin hubungan antar pasangan dimana pria dan wanita mengikat janji
dihadapan Tuhan melalui pendeta untuk menjadi partner hidup yang saling
menerima kekurangan antar pasangan dan saling menjaga satu sama lain.
Kesetiaan
dan kemesraan: dalam hal ini lebih
ditekankan bagaimana cara untuk menjaga pernikahan itu untuk tetap terjaga.
Dimana suami istri menunjukan kesetiaan dan kemesraan mereka satu sama lain
melalui tingkah laku atau bahkan dalam hubungan seksual. Perlu ditekankan bahwa
kemesraan seksual seharusnya menjadi tanda bahwa satu orang ingin memberikan
dirinya kepada yang lain. Kalau perbuatan-perbuatan seksual dipakai hanya untuk
mencari sensasi saja, maka hubungan antara pria dan wanita dikorbankan demi
kepuasan sementara dan dangkal sehingga pernikahan yang dijalankan itu tidak
akan berlangsung lama dan kandas sehingga berakhir dengan perceraian.
Kejujuran
dan kesopanan: dalam hal ini juga lebih
menekankan perihal bagaimana menjaga pernikahan itu untuk tetap eksis, dimana
pasangan suami istri menjaga hati untuk selalu tetap jujur terhadap pasangannya
sehingga tercipta saling menghormati dan tercipta kesopanan antara suami dengan
istri, yang mana suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai partner dalam
menjaga pernikahan itu dan terciptalah keharmonisan dalam berumah tangga yang
sesuai dengan nilai-nilai kekristenan.
Semua tahapan itu haruslah diberikan seorang pendeta agar para
pemuda-pemudi kristen dapat mengerti bagaimana menciptakan suatu keluarga
kristen dan melalui tahapan ini juga pendeta dapat memberikan pandangan
mengenai batasan-batasan dalam melakukan kontak sosial terhadap lawan jenisnya.
2.
g. Pendidikan Seksual
Sering sekali seorang pemuda bertanya “mengapa hubungan seks
sebelum menikah dinilai jahat, sedangkan setelah pernikahan dianggap baik”?
Bila pertanyaan ini diajukan ada kesan bahwa orang yang menanyakan beranggapan
bahwa agama Kristen mengajarkan bahwa seks itu jahat. Dia sama sekali tidak
memikirkan Tuhan yang menciptakan seks. Tentu saja anggapan yang menyatakan
bahwa seks itu jahat adalah salah. Sebab tidak ada sesuatupun yang diciptakan
Tuhan itu jahat. Yang jahat dan salah ialah penyalahgunaan seks yang
sewenang-wenang oleh manusia [22].
Dalam pemahaman iman Kristen, Seks
dalam Perkawinan Kristen merupakan anugerah Tuhan Allah [Kejadian
1:27, 28; 2: 18, 21-25], wajar, indah,
sakral, dan untuk dinikmati bersama hanya oleh dan bagi suami
isteri. Tuhan Allah menciptakan manusia dengan sempurna yang
menyangkut seluruh aspek psikis dan fisiknya, serta hidup dan
kehidupannya. Salah satu aspek yang terkandung dalam
keutuhan manusia tersebut adalah nafsu atau yang lebih tepatnya adalah naluri
seksual. Naluri ini bukan untuk menyiksa laki-laki dan perempuan,
tetapi agar mereka mendapatkan kenikmatan dan kepuasaan. Tuhan Allah
telah merancang dan menciptakan manusia dengan begitu sehingga mempunyai
daya tarik dan kenikmatan jasmaniah. Sehingga hubungan intim mampu
melepaskan ketegangan biologis, serta sekaligus yang menunjukkan bahwa
suami atau isteri secara total menerima pasangannya, dan menyatakan
dengan bahasa tubuh yang romantis kesediaanya untuk saling bergantung satu sama
lain.
Seks dalam perkawinan merupakan berkat dari Tuhan Allah yang menyenangkan suami-isteri, “Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu.: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya” [ Amsal 5:18-19]. Secara umum dan ringkas fungsi seks dalam perkawinan -tanpa menurut urutan pentingnya- menyangkut berbagai aspek, antara lain:[23]
Seks dalam perkawinan merupakan berkat dari Tuhan Allah yang menyenangkan suami-isteri, “Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu.: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya” [ Amsal 5:18-19]. Secara umum dan ringkas fungsi seks dalam perkawinan -tanpa menurut urutan pentingnya- menyangkut berbagai aspek, antara lain:[23]
1. Komunikasi kasih dan pernyataan cinta.
2. Identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan yang mampu melayani pasangan
3. Kesatuan dalam keterpaduan, secara fisik dan psikis antara suami-isteri
4. Prokreasi, untuk memperoleh keturunan
5. Rekreasi,
menyangkut kemampuan melakukan hubungan yang lama sehingga masing-
masing pasangan mencapai orgasme
6. Antisipasi tindakan asusila
Oleh
karena itu sebagai seorang pemuda-pemudi Kristen, untuk menikmati seks sangat
baik sekali untuk menunggu sampai hari pernikahan. Perlu ditekankan sekali
bahwa hubungan seksual sebelum menikah akan menyebabkan kehamilan dan kelahiran
anak yang tak diinginkan. Persetubuhan dapat merusak penghargaan kita kepada
diri sendiri dan kepada partner kita. Persetubuhan dengan orang yang tidak kita
cintai memperalat orang itu dan menciptakan kebiasaan menggunakan seksualitas
sebagai permainan dan bukan sebagai cara untuk menyatakan cinta kasih.
Persetubuhan dengan orang yang kita cintai menyulitkan kebebasan untuk
membatalkan hubungan itu, kalau cinta itu kelak akan menjadi luntur. Kita dapat
merasa wajib untuk menikah dengan orang itu walaupun kita tidak lagi mencintainya.
Sebenarnya semua alasan ini adalah segi-segi dari satu alasan pokok. Kita
jangan mencuri makna kegirangan seksual dari pernikahan kita. Kita jangan
memboroskan karunia yang diberikan kepada kita oleh Allah.[24]
Oleh karena itu pendidikan seksual sangat perlu sekali diterapkan dalam
pendidikan agama kristen, agar setiap pemuda-pemudi Kristen dapat memiliki
pandangan hidup yang baik dan tidak terjerumus dalam dosa yang menyesatkan para
pemuda dan pemudi itu sendiri.
3.
Kesimpulan
Anggota jemaat Naposo Bulung HKBP adalah masa depan
gereja yang diharapkan dapat menjadi penerus generasi yang baik di masa depan.
Oleh karena itu perlu sekali mereka dibimbing dan dibina agar menjadi para
penerus gereja, untuk pandangan sekilas para pemuda dan pemudi ini dilihat
sebagai sesuatu yang patut untuk diremehkan oleh para pendeta, pandangan itu sangatlah
tidak baik karena akan merusak masa depan gereja itu sendiri. Para pemuda dan
pemudi seharusnya dituntun dalam gereja agar mereka menjadi garam bagi dunia
seperti yang tertulis dalam Matius 5:13 "Kamu adalah
garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak
ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
Masa muda adalah masa yang rentan dalam kehidupan, pada masa muda ini
para pemuda dan pemudi menjumpai segala sesuatu yang baru, segala kenikmatan
duniawi yang dapat membutakan mata mereka oleh karena itu mereka sangat
memerlukan segala bimbingan baik dalam rumah mereka yang mana para orang tua
berperan dalam memberikan kasih sayang yang tulus, dalam sekolah dimana sekolah
memberikan pengajaran yang baik demi pengetahuan intelektual mereka dan tak
lupa serta yang paling penting adalah peranan gereja dalam membentuk spiritual
para pemuda dan pemudi dalam ibadah gereja, katekisasi, atau juga bimbingan
secara personal sehingga mereka dapat menjadi umat Allah.
[1] J. O. Sanders, Kepemimpinan
Rohani, Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2001, hlm. 48
[2] M. B. Strom, Apakah
Pengembalaan itu?, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hlm. 27
[3]
E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan
Agama Kristen, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2008, hlm. 53
[4]
H. Norman Wrigth, Konseling Krisis:
Membantu Orang dalam Krisis dan Stres,
Gandum Mas, Malang 2006, hlm. 225
[5]
Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai
Usia Lanjut, BPK Gunung Mulia,
Jakarta 2004, hlm. 262
[6] Singgih
D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, BKP Gunung Mulia, Jakarta 1979, hlm.
96-97
[7]
Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk
Keluarga, hlm. 97
[8]
Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk
Keluarga, hlm. 97-98
[9]
Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk
Keluarga, hlm. 98
[10]
Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk
Keluarga, hlm. 266
[11] Gereja-gereja yang melakukan pelayanan katekisasi adalah gereja-gereja
yang tergabung di dalam arus utama tradisi Protestan, seperti dari aliran
Lutheran dan Calvinis / gereja Reformasi. Sedangkan gereja-gereja aliran baru,
seperti gerakan Pentakosta dan Karismatik tidak mengenal katekisasi.
[12] Definisi katekisasi dirumuskan sebagai berikut: A Catechisms is a popular
manual of instruction (Gr. Katecheo, to instruct) in Christian beliefs,
normally in question and answer form. Dikutip dari: Walter A. Elwell, (Edit.), Evangelical Dictionary of Theology. Second
edition, Baker Academics, Michigan 2001, hlm. 211.
[13] Martin I Klauber, Confessions,
Creeds, and Catechisms in Swiss Reformed Theology (1675-1734), In
Westminster Theological Journal, Vol. 57:2, Fall 1995, hlm. 403. to quote John Leight, writes: It (catechism) was not initially used
solely for the young person preparing for confirmation, but for all believers
in order to teach them the basics of the Christian faith.
[14]
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral, Kanisius, Yogyakarta 2002, hlm.
425-426
[15]
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral, hlm. 426
[16]
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral, hlm. 426
[17] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta 2002, hlm.
766
[18] E. Nugroho (ed), Ensiklopedi
Nasional Indonesia Vol. X, PT.
Cipta Adi Pustaka, Jakarta 1990, hlm. 301
[19] E. Martasudjita, Pr. Pengantar
Liturgi, Kanisius, Yogyakarta
1999, hlm. 135
[20]
bnd. Ronal W. Leigh, Melayani Dengan
Efektif, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2004, hlm. 215-216
[21]
bnd. Malcolm Brownlee, Hai Pemuda,
Pilihlah!, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2003, hlm. 97-103
[22]
Herbert J. Miles, Sebelum Menikah
Fahamilah Dulu Seks, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001,hlm. 93-94.
[23]
Herbert J. Miles, Sebelum Menikah
Fahamilah Dulu Seks, hlm. 93-94.
[24] Malcolm Brownlee, Hai Pemuda,
Pilihlah!, hlm. 96
bagus loh ban postingannya sangat membantu dalam pengerjaan tugas. terimakasih dan sukses untuk kedepannya
BalasHapus